Pacar Untukku, Bu :)
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Pagi
itu aku dikejutkan oleh pertanyaan sederhana Ibu.
“Tenang
aja, Bu. Ibu mau kriteria pacar yang kayak apa? Ana punya banyak pilihan kalo
Ibu setuju.”
Bismillaahirrahmaanirrahiim
doc.fb |
“Kapan
punya pacar, Na? Usiamu sudah mau seperempat abad. Tapi Ibu lihat kamu tidak
serius menjalani hubungan dengan seseorang,” ucap Ibu sambil menyodorkan kartu
undangan dari sahabatku. Minggu lalu sudah ada resepsi dari sahabatku juga.
Minggu ini ada dua sahabat yang menikah pada saat bersamaan. Posisiku sulit
menentukan mana yang harus aku dahulukan. Satunya di Jakarta, yang lain di
Bandung. Semuanya di luar kota. Menanggapi pertanyaan dari Ibu, aku hanya mesam-mesem saja. Buat apa susah
dipikirkan. Aku pun jawab dengan kalimat sederhana.
“Kamu
udah dewasa, Na. Ibu tak berhak menentukan pilihan untukmu. Kalo Ibu mau pilih,
yaa kriteria idaman mertua seperti pada umumnya.Ingat Se-ISME?”
“Apa
itu, Bu?” tanyaku penasaran.
“Se-
yang pertama adalah Seiman. Kamu boleh pacaran ama siapa aja, tapi lihat dulu
kepercayaan yang dimilikinya. Jangan sampai kamu terjebak oleh cinta buta
hingga tak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Agama itu pedoman hidup
yang utama, Na. Termasuk, menentukan pilihan pasangan. Bolehlah kita bercermin
dari tetangga kita yang menikah beda keyakinan? Tapi apa hasilnya?”
“Mereka
sulit menemukan ketenangan, yah, Bu? Aku lihat anak-anak mereka juga pada
bingung milih keyakinan yang mana. Trus, Se- yang kedua apa, Bu?”
“Se-Sholeh.
Seagama tapi ga sholeh ya percuma aja, Na. Bisa-bisa ntar identitasmu jadi
Islam KTP. Hubungan pacaran jadi semakin ga karuan nantinya.”
“Ana
belum paham. Apa hubungannya pacaran dan kesholehan? Bukannya itu tidak ada
hubungannya, Bu? Malah justru pacaran itu tidak diperbolehkan dalam Islam?”
pertanyaanku datang bertubi-tubi.
“Tunggu
dulu, Na. Dengarkan dulu penjelasan dari Ibu. Kau masih belum paham. Masih
ingin Ibu jelaskan soal se- yang ketiga?”
“Oke,
Bu. Silakan dilanjutkan,” ucapku sambil garuk-garuk jilbab.
“Se-Misi.
Jika misi berseberangan, hubungan pacaran akan mudah rentan oleh macam
gangguan, Na. Carilah pacar yang mendukung aktivitas positifmu dan
mengembangkan potensi yang kamu miliki. Menurut Ibu, kriteria ini menjadi
sesuatu yang layak agar kelak tak berjalan sendirian. Alangkah bahagianya, kalo
kita berhubungan dengan orang yang semisi dengan kita. Betul, Na?”
“Ibu
dan Ayah memiliki profesi yang berbeda. Apakah itu kategori semisi, Bu?”
“Profesi
yang berbeda namun dengan misi yang sama bukanlah hal yang dipusingkan. Maksud
misi di sini adalah misi untuk merealisasikan visi hidup.”
“Oh,
begitu. Trus kriteria terakhir apa, Bu?” tanggapku semakin bergairah.
“Se-Empati
dan se-Cukupnya. Cukup atas segala cintanya
kepadamu. Cintanya yang membuatmu lebih mencintai Pencipta. Hal ini cukup
membuatmu bahagia. Empati untuk segalanya, cukup memenuhi kebutuhanmu lahir dan batin,” senyum
Ibu terlihat lebar. Wajah Ayah hadir dalam benakku.
“Itu
mah kriteria suami yang ideal, Bu. Bukan kriteria pacar, kan?” tanyaku
bergantian. Aku terkecoh dengan istilah ‘pacar’ yang dipakai Ibu.
“Yap.
Kamu boleh pacaran, asal sudah menikah. Itulah yang Ibu lakukan dulu bersama
Ayahmu. Kami dijodohkan, Na. Semula Ibu tak bahagia karena memang sebelumnya
tak mengenal Ayahmu. Tapi rasa kebahagiaan mulai merasuk tatkala status Ibu
berganti menjadi seorang isteri. Ayahmu sangat mencintai Ibu setulus hati. Ibu
menganggapnya sebagai pacar sejati.”
“Emang
sebelumnya Ibu belum pernah pacaran?”
Ibuku
menggeleng tanda tak pernah. Aih, dulu saja Ibu tak berpacaran. Kenapa sekarang
aku malah bimbang terhadap jalan lurus yang aku pegang.
“Menikahlah
dengan cinta, Anakku. Meski tak kau mulai dengan rasa cinta, percayalah suatu
saat cintamu akan bersemi sepanjang hari.
Menikah itu adalah sebuah kebutuhan bukan sekedar keinginan pribadi. Engkau
tahu maksudnya?”
“Dengan
menganggapnya sebagai kebutuhan, berarti kita benar-benar ingin meraihnya
karena Ibadah, kan, Bu?”
“Hebat.
Pandangan yang cemerlang, Anakku. Kalo sekedar keinginan, mungkin bisa saja keinginan
itu diiringi hawa nafsu yang terburu-buru.”
“Iya,
Bu. Ana masih ingin memperbaiki diri untuk memperoleh pasangan yang baik pula. Terima
kasih atas pencerahannya, Bu. Ana jadi lebih bersemangat.”
“Ibu
do’akan selalu, Nak. Semoga “pacarmu” datang dalam waktu yang tepat. Hehe.. Ibu
sudah terlalu senja ini. Tak sabar untuk menimang cucu darimu.”
“Insya
Alloh, Bu.”
Kali
ini aku memeluk Ibu dengan sangat mesra. Kebahagiaanku tak bisa dilukiskan
dengan kata-kata.
#Just fiction, hehehehe…
An Maharani Bluepen
haha... kirain nyata... subhanalloh ya.. ibunya luar biasa!!!
:) that's just fun, ukhti sholehah ^_^
Mbak An....
Satu kata deh "Subhanallah"
^_^
Masya Alloh, kata yang lebih tepat untuk menyatakan pujian :)
Alhamdulillah..
segala puji bagi Alloh :)
jiahaha,,fiksi yang dahsyat.. bisa-bisanya saya membayangkan kejadian yang sebenarnya,,ruaar biasa.. :D
masya alloh..lanjutkan An.. ^^
Insya Alloh, Bu..kalo ada kesempatan, An mau nulis kisan non-fiksinya... Hihihi..
Jujur, sebetulnya Ibuku itu kurang paham soal ta'aruf. Pahamnya soal pacaran (tapi sebelum pernikahan). Jadinya, sering aku tegaskan ma Ibuku (dengan bahasa yang sehalus mungkin) bahwa aku-pun bisa berpacaran, tapi usai menikah :)
soal kriteria suami ideal menurut Ibuku, sih, tak jauh beda apa yang disampaikan dengan cerita yang di atas. Perbedaannya cuma dari segi pemikirannya saja :)
Makasii sudah membaca, mbak..
hihi.. semoga disegerakan ukhty sholehah :)
ketawa-ketiwi aja, nii, Mon..
aamiin,
semoga yang mendo'akan juga disegerakan :)
loh... just fiction?
padahal kirain nih beneran...
dari awal baca sudah serius nih, coz baca judulnya udah kaget...
^_^
hehehehe...tertipu,yah ^_^
Masya Allah...semoga disegerakan bertemu dalam ketaatan dg tambatan hatinya ya An ^_^ salam buat ibu...kangeeen...
aamiin yaa mujiib..
*butuh proses, mbak ^_^
mba an....semoga "radarnya" terasa makin dekat ya....
hehe..lagi ngebaca backsound blog ini, yah..? :D
Insya Alloh, ukhti..
kalo jodoh itu ga akan tertukar :)