Refleksi Republika: Mengikat Anugerah dengan Syukur
Mencukil
Refleksi Nikmat
Sepanjang
perjalanan Bogor – Jakarta – Semarang, membuat saya berpikir jernih. Betapa
besar nikmat yang Alloh berikan kepada saya beserta keluarga; nikmat kesehatan,
kecukupan, dan tak jauh pentingnya adalah nikmat kebersamaan. Perasaan suka
bercampur duka memenuhi gemuruh dada. saya sangat bersyukur namun seringkali
melupakan kehadiran syukur itu. Seiring pergantian waktu, rasa nikmat itu tak
berhenti atau berkurang. Suka saat nikmat itu datang namun duka saat nikmat itu
pergi. Kondisi perasaan yang mudah berganti haluan. Padahal, sesungguhnya Alloh
sedang menguji rasa syukur baik di dalam kondisi suka maupun duka.
Di balik jendela kereta, saya
melihat pemandangan kontras antara pemukiman kumuh dan bangunan beton di
belakangnya. Selanjutnya, saya melihat permadani hijau sawah yang merupakan
salah satu zamrud khatulistiwa. Alhamdulillah, petak-petak sawah masih tersisa.
Indonesia masih meninggalkan jejak agrarisnya. Tak kalah lagi, pemandangan laut
jawa yang menenangkan jiwa. Meski air lautnya tampak kotor, gerakan ombak yang
memecah batuan di bibir pantai, membuat saya cukup terpukau. Di sampingnya,
tumbuh tanaman bakau yang mencegah arus abrasi. Dari sini, saya membaca kilasan
unik dari surat kabar Republika (18 Rabiul akhir 1433 H) yang bertajuk; “Mengikat
Anugerah dengan Syukur”. Tulisan dari KH A. Hasyim Muzadi membuat hati
saya bergetar, mengingat kembali nikmat-nikmat yang sering saya lupakan.
Berikut uraian tulisan beliau....
Kita, bangsa manusia, kerap
hanya merasakan telah mendapatkan limpahan kasih sayang, rahmat, serta anugerah
Alloh jika hal-hal itu dapat “dinikmati”. Kita suka merasa disayang oelh-Nya,
karena jabatan tinggi yang kita duduki. Kita kerap merasa Tuhan mendengar semua
harapan kita, jika harta melimpah, relasi bisnis memanjang dari ujung ke ujung,
atau deposito yang jumlahnya unlimited. Dengan
bangga kita keluar rumah, lalu melempar pandangan untuk menikmati mobil mewah
berderet-deret dalam garasi khusus.
Semua anugerah ini berwujud
dalam bentuknya yang dapat dinikmati karena kemanfaatannya. Rumah mewah dan
besar jelas dapat dirasakan fungsinya. Mobil edisi terbaru juga mudah membuat
kita merasa bangga sehingga karenanya gengsi naik bertingkat-tingkat. Uang
banyak dengan mudah dapat mengantar kita ke mana kita suka. Naik pesawat di
dalam dan di luar negeri sudah jamak dilakukan, di saat begitu banyak yang lain
hanya berputar-putar dengan motornya dari kampung ke kampung. Kita sudah
keliling dunia ketika banyak orang berani bermigrasi ke kota-kota kecamatan.
Ini semua, hanya
sepersekian dari sebegitu banyak anugerah Alloh yang telah diberikan kepada
kita sampai hari ini, detik ini. Kalau semua yang kita sebutkan dan kita
bayangkan ini diperuntukkan Alloh hanya sampai saat ini, sejatinya selesai
sudah waktu kita menikmati dan merasakan ini semua. Padahal, masih tak
terhitung jumlah anugerah yang tengah dipersiapkan Alloh untuk kita apda
waktu-waktu setelah hari ini dan setelah hari ini dan setelaha detik ini.
Ini baru karunia, anugerah,
pemberian yang dapat kita rasakan dengan rasa perasaan dan panca indera kita.
Bagaimana dengan anugerah lain yang tidak dapat kita rasakan kehadirannya
karena begitu rutinnya ia menjalankan fungsi-fungsi organ dalam diri kita
sehingga berlangsung secara mekanistis. Bernapas dengan lega, jantung, ginjal,
hati, paru-paru, pembuluh darah, dan semua organ tubuh berfungsi dengan benar
adalah anugerah yang kerap membuat kita lengah sehingga lupa bahwa berjalannya “fungsi”
adalah anugerah yang tiada ternilai. Lantas, beranikah kita membayangkan fungsi-fungsi
ini berhenti? Tidak.
Kita tidak berani
membayangkan semua anugerah yang telah kita nikmati serta karunia yang tengah
dipersiapkan oleh Alloh untuk kita kini, ke depan, hingga ke akhirat kelak. Kalau
boleh berharap kepada-Nya, sudilah kiranya dengan segala iradah dan qudrah-Nya,
kita-anak, isteri, suami, orang tua, serta tetangga dan para sahabat- dapat
kembali berkumpul bersama-sama dalam belaian karunia Alloh di akhirat kelak.
Keinginan ini bukanlah sesuatu yang mustahil.
Terlebih agama telah
mengajar kita bagaimana memperlakukan anugerah dengan benar. Karunia-karunia
ini, semata fasilitas yang memang disiapkan Alloh bagi kita dalam mengarungi
kehidupan dunia agar dapat tempat yang layak di akhirat. Maka, semua fasilitas
ini harus ditempatkan “pada tempatnya” sebagai bentuk rasa syukur kepada Alloh.
Ketika fasilitas ini tidak difungsikan dengan benar, itu artinya kita telah
membuka pintu agar segenap anugerah, karunia, serta pemberian ini meninggalkan
kita.
Man
lam yauskurin ni’am faqod ta’rrodho li zawaalihaa, wa man syakarohaa faqod
qoyyadahaa bi’ Iqoolihaa- Siapa tidak mensyukuri nikmat, berarti menginginkan
kehilangannya. Dan, siapa mensyukurinya, berarti telah mengikatnya dengan kuat
-” Ibn ‘Athaillah
Ajaran Ibnu ‘Athaillah tersebut
mengisyaratkan bahwa tak ada sesuatu yang dapat mempertahankan keberadaan
karunia selain mengikatnya dengan rasa
syukur kepada Alloh Swt. Tidak bersyukur berarti mempersilakan
fasilitas-fasilitas Tuhan meninggalkan kita. Tetapi, jika dalam gemilang
maksiat, karunia masih setia mengalir deras, kata Ibn ‘Athaillah, “Jangan
terlalu percaya diri karena sejatinya secara perlahan aliran nikmat akan segera
berujung pada sengsara lahir batin.
“Khoffa Min wujuudi ihsaanihii ilayka wa dawami isaa-ati-ka Ma’ahuu an
yakuuna dzaalika istidrojan laka- Takutlah bahwa bila kebaikan Alloh selalu
engkau peroleh pada saat engkau berbuat maksiat kepada-Nya, itu lambut laun
akan menghancurkanmu-“ Ibn ‘Athaillah.
Demikian sebaliknya, jika
seseorang bermujahadah agar tidak menjauh dari-Nya, tetapi ternayata aliran
karunia tak kunjung datang, janganlah berkecil hati. Sebab, mujahadahnya untuk
selalu berdekatan dengan Alloh Swt adalah karunia tidak ternilai dibanding
dengan karunia yang dapat dirasakan oleh perasan dan panca indera.
Bahkan, menurut Imam
Asy-Syibli, syukur terpenting adalah bagaimana kita menumbuhkan serta
meningkatkan kesadaran kita akan ke-Mahaan Sang pemberi bukan kepada pemberian
itu sendiri. Simaklah bagaimana nabi Daud menyikapi tindakan syukur, “Duhai,
Tuhanku! Bagaimana aku tidak akan bersyukur atas karunia-Mu kepadaku sementara
(tindakan) bersyukur itu sendiri adalah sebuah nikmat dan karunia.” Syukur
dalam konteks ini telah menemukan maknanya yang paling hakiki. Sebab, tak ada
derajat yang paling disuka seorang hamba selain selalu berada dalam ketaatan
kepada-Nya.
Adakah karunia yang lebih
dahsyat bagi seorang kekasih dibanding kesempatan untuk selalu
berdekat-dekatan, berasyik-masyuk, dan berduaan dengan yang dicinta? Pada tahap
ini, sepasang kekasih tak lagi peduli di mana dan kapan harus bertemu. Pada
tahap ini, pasangan kekasih hanya dapat merasakan kenikmatan cinta ketika sudah
‘bertemu”. Mereka akan mempertaruhkan segalanya untuk tidak lagi dapat
dipisahkan. Mungkinkah dan bagaimana caranya? Dengan syukur. Sebab, hanya
syukur yang dapat mengikat karunia kedekatan kita kepada Alloh Swt.
Tentu tidak banyak yang
dapat melakukan itu. Bahkan, Alloh sudah mengkonstankan dalam Al Qur’an bahwa
memang sangat sedikit yang dapat melakukannya. “Wa qoliilun min ‘ibaadiyasy syakuur- Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku
yang bersyukur.” Karena itulah, baginda Nabi Muhammad SAW berdoa kepada
Alloh agar dimasukkan ke dalam golongan yang “sedikit”. Salah satu doa yang
membuat para sahabat takjub. Tak biasanya Nabi berdoa demikian. Begitulah,
antara lain, cara Nabi menjelaskan firman Alloh Swt bahwa memang tak banyak
yang pandai bersyukur. Setiap kita harus bermujahadah untuk masuk golongan ini.
Wallahu A’lamu Bishowaab.
Alhamdulillah..
18
Rabiul akhir 1433 H
‘Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang engkau dustakan? Tidak ada balasan untuk
kebaikan selain kebaikan (pula).” – QS 55: 59-60 –
0 Response to "Refleksi Republika: Mengikat Anugerah dengan Syukur"
Posting Komentar
Thanks for reading
^________^