Cerita Fenita


Jangan Panggil Aku Ukhti

Ada yang berbeda dalam suasana Ramadhan saat itu. Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang spesial di dalamnya. Apakah karena perubahan wujudku menjadi seorang muslimah yang sesungguhnya? Pada awal Ramadhan 1425 H, aku bertekad untuk berhijrah ke dunia baru. Dunia Islam yang lama tidak aku sentuh. 


Selama ini aku tertawan dalam dunia yang jauh dari ketenangan jiwa. Dunia yang dihiasi oleh kesenangan semu dan bersifat sementara. Namun, Alloh masih sayang kepadaku. Aku menemukan orang-orang yang mengembalikanku ke jalan yang penuh cahaya. Aku tidak sendiri. Ada mereka yang senantiasa bersamaku. Sedangkan para sahabatku dahulu? Mereka menjauhiku begitu saja ketika mengetahui  Ayahku divonis sebagai tersangka KKN. Semua harta keluarga ludes karena disita negara, sedangkan Ayah dibui seumur hidup. Aku depresi berat. Tak ada satupun sahabat yang mempedulikan nasibku. Apalagi memahami perasaanku. Apakah mereka berteman hanya karena memandang statusku sebagai anak orang kaya? Sungguh pedih memang, ketika mengetahui bahwa mereka mencibirku dari belakang. Perasaanku sangat sakit tak terperi.

Aku masih ingat, saat itu aku melampiaskan isak tangisku di sudut mushola SMA. Aku mengambil air wudhu untuk menenangkan jiwa. Saat itu mushola masih sepi, sepertinya para siswa masih sibuk belajar di kelas masing-masing. Aku mengambil kesempatan waktu istirahat dengan sholat dhuha. Sholat sunah yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan. Aku mengadukan permasalahanku ke Sang Rahman. Aku tahu bahwa Alloh tidak pernah tidur dan senantiasa mendengar doa hamba-Nya. Materi ini baru saja aku dapatkan dari kajian Annisa namun aku praktikkan secara langsung.

Di sela-sela sholat Dhuha, aku mendengar suara murottal Qur’an yang sangat merdu. Suara itu masih bertahan sampai aku menyelesaikan rakaat terakhir. Secara tak langsung, ketenangan mulai merasuk jiwaku. Suaranya sangat jernih dan penuh penghayatan. Namun sayang, aku tidak bisa melihat wajah pemilik suara murottal Qur’an dengan jelas karena tertutup oleh tabir pembatas. Wajahku terasa malu karena ilmuku tentang Al Qur’an masih jauh ketinggalan dan aku masih terbata-bata membacanya. Sangat kontras dengan suara tartil Qur’an yang aku dengar saat itu.

Tiba-tiba suara tartil Qur’annya berhenti dan berkata, “Ukhti, bisa minta tolong hidupkan tombol kipas angin di seberang sana?”

Aku terdiam dan melihat kondisi ruangan. Tak ada siapapun di sana, kecuali aku. Kenapa dia memanggilku dengan sebutan ukhti? Aku penasaran dengan panggilannya. Ingin berbicara namun takut salah tingkah. Terpaksa, aku meninggalkan mushola dengan tergesa-gesa. Namun sekali lagi, suaranya menahanku untuk pergi.

“Maaf, ada akhwat di sana?”

Akhwat?” suara refleks-ku keluar dan sepertinya dia mendengar jawabanku.

“Iya, ukhti. Bisa minta tolong hidupkan tombol kipas angin?” pertanyaannya membuatku semakin bingung karena ada tambahan kata akhwat.

“Maaf, Mas. Namaku bukan ukhti atau akhwat. Ok. Akan saya nyalakan, ya,” jawabku seketika memenuhi permintaannya. Aku tak tahu makna istilah yang ia kenakan. Mengapa ia memanggilku seperti itu?

Aku semakin rajin mengisi absent dhuha di mushola. Seringkali berbincang dengan teman-teman rohis yang aku kenal kuper dalam fashion. Meski kuper, ternyata otak mereka encer baik dalam memahami ilmu agama maupun ilmu sains di kelas. Aku pun mengetahui istilah akhwat dan ukhti dari mereka. Ternyata istilah itu untuk panggilan wanita mukmin dalam Islam. Hmm... Meski seorang muslim, aku merasa kuper dengan istilah itu.

Seiring berjalannya waktu, aku semakin giat dalam mengikuti kajian Annisa. Sebuah rutinitas yang dulunya aku anggap sebagai aktivitas tanpa makna. Meskipun belum berjilbab, mereka tak merasa risih atas kehadiranku dalam majelis. Mereka justru menyambutku dengan sikap terbuka dan memberiku santapan motivasi lewat kajian kecil yang bernama mentoring. Sikap mereka begitu ramah, tak sedingin yang aku kira. Mereka sering menyapaku dengan sebutan ukhti dan aku merasa belum nyaman dengan sebutan itu. Aku merasa tidak pantas karena penampilanku tidak mencirikan wanita mukmin sebenarnya. Aku merasa malu dengan sebutan ukhti. Ratna, Hana, Dinda, Kiki dan Leti memahami perasaanku. Kami mulai mengenal satu sama lain dan merajut tali persahabatan. Mereka bilang ukhuwah itu indah. Dalam sebuah hadist dikatakan bahwa “Tidak sempurna keimanan seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya (sesama Muslim) sebagaimana ia mencintai dirinya (HR Bukhari dan Muslim)”. Pengetahuanku tentang Islam semakin bertambah lewat mentoring.

Suasana merah jambu menyelimuti mushola saat peringatan hari jilbab sedunia, bertepatan dengan acara buka puasa di sekolah. Ya. Semua akhwat Rohis yang aku kenal menggunakan busana berwarna merah jambu. Mereka turut serta membagi kumpulan stiker-stiker LOETJU berisi pesan inspiratif kepada para siswa, khususnya para akhwat. Semalam, Kiki dan kawan-kawan memang sedang sibuk dalam mempersiapkan atribut acara hari ini. Berulang kali, Kiki mendesain stiker-stiker dan mencetaknya dalam jumlah banyak. Tak hanya itu, kawan Rohis lainnya membagikan cuma-cuma helaian jilbab yang terbungkus rapi di dalam kotak kardus kepada teman-teman yang belum berjilbab. Mereka menentang hawa panas yang menyengat, berdiri sambil membagikan bungkusan kado yang indah.  Aku hanya mengagumi semangat mereka dari kejauhan.

Perasaan malu bercampur haru turut menghiasi hatiku. Hari ini aku mencoba untuk berjilbab pertama kalinya. Suatu perubahan besar dalam hidupku. Sebuah niat tulus untuk menjadi muslimah. Untuk mewujudkannya, ternyata memang tidak mudah. Perlu langkah-langkah yang strategis, agar niat komitmen dalam hati tidak goyah. Kembali aku mengingat dosa-dosaku dan dosa-dosa orang tuaku. Aku merasa kotor di hadapan-Mu, ya Rabb. Aku ingin menyucikan diriku dengan busana muslimah ini. Semoga Engkau Meridhoi dan Memberikan cahaya setiap langkah baru yang aku jalani.

Tiba-tiba, ada seseorang yang merangkulku dari belakang. “Assalammu’alaikum, sholehah. Wah, barakallah.. Penampilan baru, ni,“ sapa Hana dari belakang. Disusul dengan suara Ratna, “Subhanallah, Fenita. Dari tadi kamu ke mana aja? Kami mencarimu tapi tak ketemu.”

“Wa’alaikumsalam. Hehe.. Habisnya malu. Aku tak berani muncul di hadapan kalian,” tanggapku dengan ekspresi malu luar biasa.

“Cie, penampilan perdana. Ni ukhti Fenita, bukan?” tanya Gandita dari arah samping. Jantungku terasa mau copot. Kaget bukan kepalang. Ubun-ubunku terasa memerah saat aku mendengar komentarnya. Gandita adalah ketua Rohisku. Sikapnya sangat bersahaja, tiap orang mengenalnya sebagai pribadi yang menyenangkan. Setelah aku telusuri, ternyata dia pemilik suara murottal Qur’an yang sering aku dengar di mushola. Dialah penyejuk jiwaku saat itu.

“Eh, ada Pak Ketu. Iya, nih, Pak. Baru hari ini kita lihat penampilan Fenita pake jilbab,” ucap Leti.

“Wah, kebetulan, ya. Oh ya, ni ada titipan jilbab dari kakak perempuanku. Ingin aku berikan ke panitia untuk dibagikan ke teman-teman, namun belum dibungkus. Ya udah, buat kamu aja, Fen. Semoga jilbab ini pas untukmu, ya,” ucap Gandita sambil menyerahkan jilbab ungu yang sangat manis.

“Alhamdulillah. Makasi, ya,” sambutku dengan wajah memerah.

“Sama-sama. Keep istiqomah, ya, ukhti,“ ucap Gandita meninggalkan kami. Lagi-lagi dia memanggilku dengan sebutan ukhti. Bisakah dia memanggil dengan namaku?

“Ihiir..dapat jilbab langsung dari Pak Ketu. Harus dipake, lo, Fen,” saran Dinda.

“Kalo ndak, jadi mubazir dan sia-sia. Hehehe..Semoga bisa terus istiqomah, cinta,” sambung Kiki.

“Siip, makasi banyak, sobat. Insya Alloh, aku akan terus istiqomah berjilbab,” ucapku bersemangat.

Lamunanku terbuyar saat jilbab ungu manis itu terlepas dari gantungan. Begitu lama aku memandang jilbab ungu itu dan teringat masa-masa SMA yang penuh kenangan. Aku teringat pada Gandita, sang penyejuk jiwa; Ratna, sang penulis yang kritis; Dinda, sang humoris; Leti, sang kreator imajinasi; Kiki, sang desainer LOETJU yang super kreatif dan Hana, sang jenius yang membuatku selalu haus akan ilmu tajwid. Aku tak akan melupakan pesan kalian, sobat. Pesan yang membuatku selalu bertahan untuk istiqomah.

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami ialah Alloh SWT” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; bergembiralah kamu dengan (memperoleh) Surga yang telah Dijanjikan Alloh kepadamu. [QS 41:30]”
Senyumku mengembang. Minggu ini kami akan dipertemukan kembali oleh Alloh SWT dalam pernikahan Gandita. Hmm... Sang penyejuk jiwaku sudah menemukan belahan jiwanya. Dia menikah dengan Fatimah, adik iparku sendiri. Ada sedikit rasa cemburu, meski aku tahu bahwa saat ini aku sudah menemukan belahan jiwa yang harus dijaga.

Ya Rabbi, bolehkah aku wujudkan cintaku pada-Mu dengan mencintai orang-orang yang menyayangiku? Jagalah cintaku pada-Mu dengan mencintai suami, keluarga,sahabat dan saudara muslim lainnya dengan setulus jiwa.”

An Maharani Bluepen
:: 17 Ramadhan 1432 Hijriah = 17 Agustus 2011 Masehi ::
Salam MERDEKA ^_^

Read Users' Comments (2)

2 Response to "Cerita Fenita"

  1. Anonim, on 19 Agustus 2011 pukul 12.59 said:

    Wah kisah yang membuat iri, indahnya ukhuwah, keep Istiqomah...

  2. An, on 20 Agustus 2011 pukul 10.04 said:

    siiip....InsyA Alloh...:")

Posting Komentar

Thanks for reading
^________^

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver