All Praise to Alloh SWT (1)
(Part 1)
“Qul huwalladzii angsaakum wa ja’ala
lakumussam’a wal abshooro wal af’idah, qoliilamma tasykuruun..” Katakanlah, “Dialah
yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan
hati,” (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur. (QS 67:23)
Sebuah ayat yang mengingatkan,
sekaligus menentramkan. Menjernihkan pikiran dan perasaan yang futur atau lalai
terhadap kebesaran Alloh, kasih sayang dan nikmat-nikmat-Nya. Bersyukur baik dalam
kesempitan atau kelapangan. Berusaha untuk ikhlas untuk menerima segala garis
yang ditakdirkan-Nya.
Kadang An sering tuli untuk
mendengar nasihat-nasihat bijak dan mencernanya menjadi arahan positif. Ataupun
dengan penglihatan, seberapa jauhkah An bisa memandang persoalan dari segala
aspek dan bisa mengambil hikmahnya? Begitu pula tentang hati. An masih terlalu
sulit untuk membersihkannya dari segala penyakit. Kadang masih labil, atau
kalap dimakan emosi. Namun untuk saat ini, An ingin sepenuhnya bersyukur kepada
Sang Rahman, Alloh Yang Maha Mensyukuri.
Di bawah Langit-Mu (3004)
An duduk di barisan depan bersama
Bapak-bapak yang memiliki kepentingan bisnis di Jakarta. Bapak yang duduk
persis di samping An, tampak begitu kelelahan. Sepanjang perjalanan An hanya
bisa melihat kumpulan awan-awan kelam yang malu-malu disinari cahaya matahari.
Alhamdulillah, cuaca kembali cerah. Di tengah perjalanan, pramugari membagikan
snack dan minuman segar. Lumayan-lah buat makanan penutup penghujung malam.
Hehe.. Tak terasa udah 45 menit berjalan dan mendarat di bandara Soe-Ta
alias Soekarno Hatta.
Alhamdulillah, selamat juga
sampai tujuan pada pukul 16.05. Meski tanpa teman seperjalanan, An berusaha
untuk tak seperti orang kehilangan. Hehe.. Setiba di sana, An sholat Ashar lagi
di mushola bandara (padahal saat di Semarang, An udah sholat jamak takdim). An
memastikan apakah perlu untuk sholat lagi dengan SMS ke mbak Atik. Tampaknya An
harus membaca buku Fiqih Safar, deh. Ternyata, An ga perlu sholat lagi karena
udah sholat jamak. Seorang musafir diperbolehkan untuk menjamak sholat dalam
perjalanan dengan jarak yang cukup panjang. Mungkin, karena masih ada kesempatan u/ sholat, ya, An jadi agak aneh kalo menjamak sholat.
Okee..untuk selanjutnya An lakukan shalat jamak dalam kondisi yang penting jika
terjebak dalam kondisi macet atau ada hambatan lainnya. Jadi memang seharusnya
kalo beribadah itu harus didasari dengan ilmu sehingga lebih nyaman dan Insya
Alloh lebih terarah.
Perjalanan tak berhenti sampai
situ. An mencari angkot/ bus untuk bisa sampai ke hotel Kartika Chandra, tempat
An menginap selama lima hari. Berkat petunjuk dari-Nya, lewat perantara mbak
Eri Chandra (sahabat fesbuk An yg asli Jakarta), An diarahkan membeli tiket bus
Damri tujuan Blok M untuk bisa turun di kawasan Slipi. As we know, kota Jakarta
terkenal kemacetannya. Jadi, untuk menghemat biaya transport, An memilih bus
kota daripada taksi. Bisa dibayangin, kn, biaya argometer taksi berapa kalo
terperangkap dalam kemacetan. An juga ga kepengin ngrepotin Mas Mul n Mas Wib.
Mereka pasti juga belum pulang kerja jam segitu.
Sebetulnya, An ada rekan kerja
yang juga tiba di Bandara pada waktu yang hampir bersamaan. Beliau berasal dari Surabaya. Trus, An menunggu Bapaknya di halte bus Damri. Eh, 15 menit kemudian, bus Damri udah dateng. Jadinya An ninggalin beliau untuk naek bus damri
sendirian coz takut terlarut malam.
Selama perjalanan bus, An duduk bersebelahan dengan seorang Bapak yg berprofesi sebagai konsultan teknik di perkebunan sawit. Beliau asli Medan namun udah menetap di Jakarta. An merasa Bapak tersebut memiliki cukup banyak pengalaman kerja. Tanpa berpikir negatif juga, sih, An menganggap Bapak itu sebagai orang baik. Bapak tersebut mengarahkan An untuk berhenti di kawasan Semanggi saja, karena lokasinya lebih berdekatan dengan hotel. Sesampai di Semanggi, kami berpisah dan An menunggu rekan kerja yang masih dalam perjalanan. An duduk di halte bus dan memandang arus kepadatan Jakarta yang lumayan super. Subhanallah... Asap-asap knalpot, polusi rokok dan kemacetan total menjadi pemandangan yang lumrah di sana. An sangat mensyukuri untuk tetap tinggal di kota Lunpia.
Selama perjalanan bus, An duduk bersebelahan dengan seorang Bapak yg berprofesi sebagai konsultan teknik di perkebunan sawit. Beliau asli Medan namun udah menetap di Jakarta. An merasa Bapak tersebut memiliki cukup banyak pengalaman kerja. Tanpa berpikir negatif juga, sih, An menganggap Bapak itu sebagai orang baik. Bapak tersebut mengarahkan An untuk berhenti di kawasan Semanggi saja, karena lokasinya lebih berdekatan dengan hotel. Sesampai di Semanggi, kami berpisah dan An menunggu rekan kerja yang masih dalam perjalanan. An duduk di halte bus dan memandang arus kepadatan Jakarta yang lumayan super. Subhanallah... Asap-asap knalpot, polusi rokok dan kemacetan total menjadi pemandangan yang lumrah di sana. An sangat mensyukuri untuk tetap tinggal di kota Lunpia.
Tak kurang 20 menit, rekan kerja
An akhirnya sampai juga di Semanggi. Ternyata, orangnya masih muda, tapi kerap
An panggil dengan sebutan Bapak. Hehehe.. Agak canggung juga, sih, saat kami
menuju hotel dengan kendaraan taksi yang sama. Masnya duduk di depan bersama
sang sopir sedangkan An duduk di belakang. Alhamdulillah, kepenatan mulai
mencair (akibat dilanda kemacetan tiga jam) serta kecemasan Mama dan Mas Mul
meredup saat An tiba di hotel.
Pada malam pertama itu, An
berharap semoga rangkaian orientasi kerja selama empat hari ke depan berjalan
dengan mulus...
(continue..)
0 Response to "All Praise to Alloh SWT (1)"
Posting Komentar
Thanks for reading
^________^