Tentang Hijab

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Bismillaahirrahmaanirrahiim

Dengan menulis, segala uneg-uneg yang dirasakan akan menjadi plong. Bukan untuk mencari sensasi ataupun untuk melabeli diri dengan segala 'kebaikan' tetapi tujuannya lebih dari itu. Aku menulis hanya karena ingin berbagi.

Notes facebook-ku di bawah ini adalah notes terbanyak komentar (sekitar 90-an komentar) dari notes yang selama ini ku buat. Ada dari komentator yang mengalami pengalaman yang serupa. Ada yang geli, terinspirasi, ataupun mengkritisi. Berbagai masukan turut memperbaiki tulisan yang 'dadakan' ku buat menjelang pulang dinas di Surakarta (18/01/13). Termasuk, pemilihan judul yang kurang sesuai dengan content cerita. Ada kesalahpahaman yang merasuk pembaca. Dari sini, Aku semakin belajar untuk menerima masukan dengan senang hati. Di akhir pengumuman, naskahku belum masuk kriteria sebagai juara. Ya, kembali dari niatan awal. Tujuanku menulis di sini hanyalah untuk berbagi. Bukan untuk apa-apa ataupun mencari sensasi.

Tetapi, tahukah kawan.. Seusai aku menulis notes ini, begitu banyak rezeki yang datang dari arah yang tidak disangka-disangka? Hari berikutnya (19/01), aku mendapatkan jilbab kenangan dari temen LQ-ku. Tak cuma itu, aku mendapatkan jilbab kedua dari sahabat kecilku (20/1). Sehari setelah maulid Nabi (25/1), waktu pengumuman lomba ini, aku malah mendapatkan jilbab pashmina, kenangan dari rekan kerjaku. Alhamdulillah..benar-benar kesyukuran yang tak bisa terukur oleh materi apapun jua.

[Kisah Reflektif] Bukan Mahramku

by Asagi Enpitsu on Friday, January 18, 2013 at 11:36pm ·
Room package double bed. Deg. Rasa kekhawatiran menyelimuti hatiku. Dengan wajah tersipu malu, aku tak berani menolak pesanan kamar itu. Hal ini menjadi tawaran pahit bagiku. Ornamen batik yang menghiasi lobby hotel menjadi penghibur ke-galau-an hatiku. Aku tak bisa menghindar. Aku menerimanya dengan pasrah. Tiba-tiba keringat dingin keluar begitu saja membasahi jilbabku. Inilah pertama kalinya aku sekamar dengan pimpinan kantorku. Dua kamar lain sudah terisi penuh. Aku tak memiliki kesempatan untuk memilih.

Aku menghibur diri dengan tersenyum dan terus berprasangka baik. Ya. Aku tahu bahwa Alloh memang Maha Pengasih dan Penyayang. Tanpa nikmat dari-Nya, mungkin aku tak pernah berkesempatan untuk bolak-balik perjalanan dinas ke luar kota; merasakan tidur nyaman di hotel bintang empat, menaiki pesawat hingga menginjakkan kaki di luar Pulau Jawa. Setiap episode perjalanan pasti memiliki hikmah yang manis untuk dipetik. Sekali lagi, setiap skenario yang telah Dipersiapkan oleh-Nya, pasti selalu saja membuat diri untuk bercermin dan bersikap untuk lebih dewasa. Hal yang unik menjadi wanita perkerja  adalah memperhatikan identitas kemuslimahannya, termasuk menjaga nilai istiqomah di dalam hati dan perilakunya.

Aku jadi semakin belajar dari masa lalu. Kekuatan idealisme bisa bertahan lama saat masa kuliah namun semakin fleksibel saat mulai masuk dunia kerja. Perlu ada seni dalam memahamkan prinsip yang berlainan dengan orang lain tanpa harus mengorbankan perasaan. Alhamdulillah, aku bergandengan dengan rekan-rekan kerja yang memiliki rasa toleransi yang tinggi. Penampilanku yang berjilbab panjang tak menjadi persoalan yang berarti. Aku biasa memadukan kain segiempat yang serasi dengan warna kostum. Mode jilbabnya masih sederhana, tak begitu kreatif jika dibandingkan dengan rekan kerjaku yang lincah memainkan lipatan. Begitu pula dengan rok yang terus aku kenakan setiap hari kerja. Bosku tak pernah protes atas penampilanku meskipun kami berbeda keyakinan. Namun beliau mulai curiga atas perilakuku selama empat malam (14-17 Jan'13).

Beliau menanyakan dengan bahasa sehalus mungkin, “Rambutmu rontok terus, ya, An? Di dalam kamar mandi banyak sekali berceceran.”

“Iya, Bu. Mohon maaf jadinya kotor, ya,” senyumku tanda malu.

“Memang tiap malam kamu pakai jilbab terus seperti itu? Rambut perlu rongga udara biar ga pengap,”saran bosku keheranan melihat kebiasaanku selama empat malam ini. Bibirku terkunci lesu. Aku tak mampu menjawab. Cukup respon senyum yang aku berikan.

“Hehe.. Iya, Bu. Saya pake kerudung terus di rumah..,” jawabku tanpa kebohongan. Sebetulnya aku ingin melanjutkan tapi pernyataan berikutnya aku hentikan. Aku takut beliau tak paham dengan alasanku sebenarnya. Mungkinkah beliau paham jika aku jelaskan bahwa hubungan kami bukan mahram meskipun sama-sama perempuan. Kata ‘mahram’ mungkin dianggap bahasa asing bagi beliau yang berlainan keyakinan. Padahal sebetulnya, Islam menempatkan konsep mahram di dalam Al Qur’an, surat An Nuur ayat 31. Beberapa teman dekatku mengingatkan tentang point penting tentang ayat ini.

31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atauwanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Asbabun Ayat:
Hadhrami mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang wanita yang mengenakan dua buah gelang kaki. Ketika berjalan di depan sekelompok orang, ia menghentakkan kakinya dengan maksud agar kedua gelang kakinya berbunyi. (HR Ibnu Jarir)

Dalam ayat tersebut dijadikan dasar bagi wanita untuk menutup aurat, menjaga pandangan, dan kemaluannya. Para wanita boleh menampakkan perhiasannya (auratnya) kepada ayah, suami, mertua, putra-putra/ putrid-putrinya, saudara laki-laki, keponakan putra, wanita-wanita muslim atau budak-budak yang mereka miliki, pelayan-pelayan laki yang sudah uzur, dan anak-anak kecil yang belum mengerti tentang aurat wanita. Konsep mahram ini turut dijelaskan dalam tafsir Ibn Kathir (http://al-quran10.blogspot.com/2012/12/tafsir-ibn-kathir-qs-nur-31.html). Dalam tafsir tersebut menjelaskan bahwa wanita muslim tidak diperbolehkan menampakkan auratnya di hadapan wanita non-muslim.

Alhamdulillah, Alloh senantiasa memberikan petunjuk bagiku untuk memahami konsep mahram sebenarnya. Ilmu semacam ini aku peroleh saat masa-masa kuliah, tepatnya saat mengikuti agenda pekanan secara rutin. Inilah keutamaan ilmu dalam menjalankan sebuah amalan. Implementasinya langsung dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Seusai memahami konsep mahram tersebut, aku mulai berani untuk mempertahankan prinsip untuk menutup aurat secara sempurna.

Aku sadari masih banyak hal yang salah dalam berhijab selama SMA dan mulai diperbaiki saat masa kuliah dan masa kerja. Kalau dulu masih asyik berjilbab namun ber-jeans ketat, kini menyadari keuntungan saat berhijab secara syar’i. Menurut kesehatan, orang-orang yang berjilbab syar’i dan berpakaian longgar, maka peredaran darahnya lebih lancar daripada pakaian berketat. Syar’i bukan berarti meninggalkan mode yang ada, tetapi meluruskan niat dan menutup aurat bukan setengah-tengah melainkan sepenuh hati. Aku harap niat berjilbab ini hanya ditujukan kepada Alloh bukan berbelok ke niatan lain. Rasanya ingin sekali dipanggil sebagai wanita-wanita beriman dan tergolong orang-orang yang beruntung seperti pesan cinta, QS An Nuur ayat 31 tersebut. Ada lagi ayat cinta yang menerangkan seruan dan keutamaan berjilbab, yakni di QS Al Ahzab ayat 59.

59.Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Asbabun ayat:
Aisyah meriwayatkan bahwa peristiwa ini terjadi setelah turunnya ayat hijab. Suatu ketika, Saudah, salah satu isteri Rasulullah SAW keluar rumah untuk suatu urusan. Umar ibn Khattab melihat Saudah dan bertanya, 'Mengapa kau keluar rumah?" Saudah bergegas pulang. Ia menemui Rasul dan berkata, 'Wahai Rasulullah aku keluar rumah untuk suatu urusan. Namun, Umar menegurku." Atas hal itu, turunlah ayat ini. Lalu, Rasul bersabda, "Sesungguhnya Alloh telah mengizinkan kamu keluar rumah untuk suatu urusan." (HR. Bukhari)

Tak terasa, sudah delapan tahun lamanya diri ini berhijab dan berproses untuk menjadi muslimah yang mulia. Kalau zaman dahulu, wanita muslim masih banyak yang enggan berjilbab karena berbagai alasan, sekarang trend wanita berjilbab semakin banyak berjamuran. Jilbab tak menjadi alasan penghalang bagiku untuk mendapatkan amanah profesi. Tak ada keraguan lagi dalam meyakini perintah-Nya dan mencintainya setulus hati.

Transformasi untuk menjadi wanita muslim yang memperhatikan konsep syar’i ini memang memerlukan niat yang kuat agar keistiqomahan terus terjaga. Keistiqomahanku teruji saat masa-masa KKN tempo kuliah, dan dunia kerja saat ini. Di sanalah aku bermalam dengan wanita-wanita yang bukan mahram selama berhari-hari. Ironisnya, ada sebagian teman wanita muslim lainnya yang mengetahui konsep mahram ini, namun mereka masih menampakkan auratnya di depan wanita non-muslim. Padahal, paradigma ‘kerepotan’ dan ‘kepanasan’ di dunia tergantikan dengan 'ketenangan' dan 'kesejukan' serta sesuatu spesial di syurga. Tak ada tiket gratis menuju taman syurganya yang indah secara cuma-cuma. Semoga kita terhindar dari siksaan dari api neraka.


*Detik-detik terakhir pengiriman :)
An Maharani Bluepen
06 Rabiulawal 1434 H/ 18 Jan' 2013 M

memori di pantai senggigi...*delapan tahun berhijab :)

Tulisan non-fiksi ini diikutkan dalam event Hijab Alila:


Sumber tafsir:
Sumber ayat:
*Ada koreksi dari teman mengenai definisi mahram dan muhrim :)
Dalam kamus bahasa Indonesia, digunakan istilah muhrim untuk orang yg masih ada hubungan keluarga dekat sehingga terlarang menikah dengannya. Padahal dalam konteks aslinya (bahasa arab), muhrim itu adalah orang yang memakai ihram. Jadi, penggunaan kata mahram-lah yang lebih berhubungan dalam konteks cerita ini.

Read Users' Comments (7)

7 Response to "Tentang Hijab"

  1. an, on 26 Januari 2013 pukul 05.44 said:

    keep Istiqomah... ditunggu kelanjutan ceritanya

  2. Aisyah Fathiyah-Tuti Wartati, on 26 Januari 2013 pukul 17.25 said:

    keep istiqomah ya ukhti...salut dengan keteguhanmu ^_^ ana juga baru menulis tentang keistiqomahan berhijab. luar biasa dunia kerja itu terkadang membuat sebagian wanita muslimah merubah penampilannya, teruslah berdo'a agar kita tetap dalam keistiqomahan...

  3. An, on 27 Januari 2013 pukul 20.19 said:

    Insya Alloh..masih berlanjut sepertinya :)

  4. An, on 27 Januari 2013 pukul 20.20 said:

    aamiin, mbak

    saling mendo'akan, yah...

  5. Badiuzzaman, on 28 Januari 2013 pukul 07.34 said:

    Toleransi antar umat yang berbeda memang kadang tak sepenuhnya dimengerti. Mungkin seperti kasus yang di Mesuji lampung dan yang berbau sara lainnya. Karena mereka tak mengerti sesungguhnya hakekat Islam itu.
    Tetap berdakwah untuk semua makhluk-nya di Muka Bumi... :)

  6. An, on 28 Januari 2013 pukul 09.47 said:

    hehehehe..kata-kata yang berat, dek Badi ^_^

  7. Unknown, on 28 Mei 2013 pukul 06.58 said:

    subhanallah.... inspiratif sekali ukhti,,,
    barakallah....

Posting Komentar

Thanks for reading
^________^

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver