Waspada Fenomena Leptospirosis di Dataran Tinggi
Artikel populer:
Waspada Fenomena Leptospirosis di Dataran Tinggi
Oleh Ania Maharani*
Leptospirosis merupakan penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia maupun hewan (zoonosis). Menurut International Leptospirosis Society, Indonesia merupakan negara dengan insidensi tinggi leptospirosis dan menempati peringkat ke-3 dunia dalam hal angka kematiannya. Angka kematian akibat penyakit leptospirosis relatif rendah, tetapi meningkat dengan bertambahnya usia. Mortalitas bisa mencapai lebih dari 20% bila disertai ikterus dan kerusakan ginjal. Pada penderita yang berusia 51 tahun, mortalitasnya mencapai 56%.
Angka kematian penyakit leptospirosis di Jawa Tengah cukup tinggi. Berdasarkan data dinas Kesehatan Jateng, penderita leptospirosis pada tahun 2009 sebanyak 219 orang dan sebanyak 14 orang di antaranya meninggal. Penderita dan korban meninggal di Kota Semarang cenderung meningkat. Pada tahun 2008, terdapat 178 penderita leptospirosis dan 8 di antaranya meninggal. Penderita meningkat pada tahun 2009, yaitu sebanyak 235 orang dan 9 orang meninggal.
Berdasarkan Geographis Information System (GIS) dan data Dinas Kesehatan Kota Semarang untuk pemetaan dan penentuan zona kerawanan leptospirosis, kasus Leptospirosis pada tahun 2009 mengalami fluktuatif, dengan jumlah kasus tertinggi pada bulan Juli 2009 dan terendah pada bulan Oktober 2009. Penderita leptospirosis tahun 2009 mengalami kenaikan sebanyak 57 kasus (21%) dibandingkan tahun 2008 dengan jumlah kematian meningkat 1%. Data kasus leptospirosis sampai September 2010 sebanyak 61 kasus. Hal ini kemungkinan disebabkan karena meningkatnya jumlah unit pelayanan kesehatan yang melaporkan kasus leptospirosis.
Pada umumnya, penyakit leptospirosis merupakan penyakit yang banyak terjadi di daerah rawan banjir karena kejadian penyakit ini paling tinggi setelah banjir tersebut surut. Kawasan rob yang memiliki kasus leptospirosis tinggi di Kota Semarang misalnya Kecamatan Semarang Utara dan Gayamsari. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Sunaryo dari Loka Litbang P2B2 Banjarnegara tentang zona kerawanan leptospirosis di Kota Semarang menunjukan hasil yang berbeda untuk dataran tinggi. Daerah Tembalang merupakan daerah yang tidak pernah mengalami banjir namun menjadi daerah yang memiliki angka kejadian leptospirosis yang paling tinggi sejak tahun 2008 – 2010. Kasus leptospirosis tertinggi pada tahun 2009 adalah Puskesmas Kedungmundu dengan jumlah 110 kasus. Dengan demikian, fenomena leptospirosis bukan hanya terjadi di kawasan rob saja, melainkan sudah merambat ke dataran tinggi Kota Semarang. Hal ini disebabkan oleh kepadatan populasi tikus di wilayah tersebut.
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Jenis bakteri Leptospira yang ditularkan oleh tikus merupakan bakteri yang paling bahaya bagi manusia daripada semua jenis Leptospira yang ada pada hewan domestik. Proporsi infeksi bakteri Leptospira pada tikus berbanding lurus dengan meningkatnya umur tikus. Semakin tua umur tikus, semakin banyak jumlah bakteri Leptospira yang ada pada tubuhnya.
Transmisi leptospira berlangsung melalui kontak langsung dengan urin, darah, atau jaringan dari hewan yang terinfeksi atau melalui terpapar oleh lingkungan yang terkontaminasi. Transmisi langsung dari manusia ke manusia jarang ditemukan. Oleh karena leptospira dieksresi melalui urin dan dapat hidup dalam air beberapa bulan, maka air memegang peran penting sebagai alat transmisi. Epidemi leptospirosis dapat terjadi akibat terpapar oleh genangan/ luapan air (banjir) yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi, khususnya tikus. Urin tikus yang mengandung bibit penyakit leptospirosis dapat mencemari air di kamar mandi atau makanan yang tidak disimpan pada tempat yang aman. Sejauh ini tikus merupakan reservoir dan sekaligus penyebar utama penyebab leptospirosis.
Leptospirosis umumnya ditemukan di daerah tropis sebab iklim dan kondisi sanitasi yang buruk merupakan lahan yang baik bagi kelangsungan hidup patogen. Untuk dapat berkembang dengan baik, leptospira membutuhkan lingkungan yang optimal yaitu temperatur hangat, lembab dengan pH air/ tanah yang netral. Kepadatan tikus yang tinggi akan mempengaruhi keberlangsungan hidup bakteri leptospira untuk menularkan penyakit leptospirosis. Hasil studi tentang faktor resiko leptospirosis berat di Kota semarang menunjukan bahwa faktor risiko riwayat luka beresiko 44 kali lebih tinggi terkena leptospirosis, aktivitas di tempat berair resikonya 18 kali lebih tinggi, dan dan untuk personal hygiene resikonya sebesar 11 kali lebih tinggi.
Usaha untuk mengurangi peluang terinfeksi leptospira adalah dengan melakukan kontrol terhadap sumber infeksi melalui pemeliharaan kebersihan, imunisasi bagi yang sering berhubungan dengan hewan penular, dan perawatan hewan secara baik. Sanitasi lingkungan harus diperhatikan terutama di daerah peternakan, pemotongan hewan, atau di kolam renang. Perlindungan pekerja yang harus diberikan adalah sepatu boot, sarung tangan, baju pelindung dan masker.
Kewaspadaan dini penyakit leptospirosis dapat dimulai dengan mengenal gejala-gejalanya. Gejala leptospirosis antara lain demam, sakit kepala berat, skin rash, mata merah, nyeri otot yang hebat terutama di otot belakang, paha, betis sehingga sukar berjalan. Gejala penyakit ini dapat dideteksi dini melalui rapid test di Puskesmas atau unit pelayanan kesehatan terdekat. Penyuluhan tentang personal hygiene dan penularan penyakit akan mencegah Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit zoonosis ini. Kewaspadaan petugas kesehatan dapat berupa pengawasan situasi pasca banjir, vaksinisasi hewan peliharaan dengan strain lokal, serta mengisolasi hewan sakit dari rumah penduduk. Kewaspadaan ini diperlukan sebagai upaya untuk mencegah penyebaran penyakit.
Langkah antisipasi terjadinya kasus pada daerah endemis terutama saat musim hujan karena biasanya pada pasca banjir tikus-tikus keluar berkeliaran dan mencemari air dengan urinnya. Surveilans tidak hanya insentif di Puskesmas/ rumah sakit di daerah banjir (rob) melainkan di dataran tinggi dengan kepadatan tikus yang tinggi. Pencarian penderita baru berdasarkan gejala klinis dan diambil darahnya 3-5 ml untuk diperiksa di laboratorium. Selain itu kewaspadaan dini dapat dilakukan dengan penangkapan (trapping) tikus minimal 5 hari berturut-turut untuk diambil spesimen darahnya untuk diperiksa di laboratorium. Upaya kewaspadaan dini juga meliputi:
a. Kebersihan lingkungan baik individu maupun masyarakat
b. Pengamatan yang lebih intensif terhadap kasus leptospirosis di puskesmas dan RS dengan pemeriksaan klinis. Selanjutnya bila ada kasus, langsung melaporkan ke DKK.
c. Pelatihan bagi dokter dan paramedis puskesmas, RS, pengelola program dan petugas laboratorium.
d. Koordinasi lintas sektoral dan lintas program.
e. Pelaporan bersifat segera mungkin dengan formulir W1 (pelaporan 24 jam) dan laporan penanggulangan KLB secara menyeluruh.
(*Penulis adalah pemimpin redaksi Publica Health, jurnalistik mahasiswa FKM Undip Semarang)
0 Response to "Waspada Fenomena Leptospirosis di Dataran Tinggi"
Posting Komentar
Thanks for reading
^________^