Siti Khadijah, Pesona Sang Ratu Mekkah


Bismillah...

Alhamdulillah, An bisa menulis lagi di lembaran hikmah ni...Salah satu topik yang memikat An untuk menulis adalah biografi Siti Khadijah tentang bagaimana pesona kehidupan beliau yang amat mulia. Pada mulanya An berpikir, bagaimana seorang Siti Khadijah dalam menyatakan cintanya kepada Rasulullah SAW. Apakah ada peraturan dalam Islam yang memperbolehkan seorang akhwat menyatakan perasaannya kepada ikhwan terlebih dahulu? Sebelum ke topik inti pembahasan alangkah baiknya kalo qt baca sejenak tentang biografi beliau,yaa..

Siti Khadijah’s Family
Siti Khadijah adalah putri Khuwailid bin As’ad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Siti Khadijah dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat, pada tahun 68 sebelum hijrah. Khadijah tumbuh dalam lingkungan yang keluarga yang mulia, sehingga akhirnya setelah dewasa ia menjadi wanita yang cerdas, teguh, dan berperangai luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya yang menaruh simpati padanya. Syaikh Muhammad Husain Salamah menjelaskan bahwa Siti Khadijah, nasab dari jalur ayahnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada kakeknya yang bernama Qushay. Dia menempati urutan kakek keempat bagi dirinya.
Pada tahun 575 Masehi, Siti Khadijah ditinggalkan ibunya. Sepuluh tahun kemudian ayahnya, Khuwailid, menyusul. Sepeninggal kedua orang tuanya, Khadijah dan saudara-saudaranya mewarisi kekayaannya. Kekayaan warisan menyimpan bahaya. Ia bisa menjadikan seseorang lebih senang tinggal di rumah dan hidup berfoya-foya. Bahaya ini sangat disadari Khadijah. Ia pun memutuskan untuk tidak menjadikan dirinya pengangguran. Kecerdasan dan kekuatan sikap yang dimiliki Khadijah mampu mengatasi godaan harta. Karenanya, Khadijah mengambil alih bisnis keluarga.

Perjalanan Cinta Sang Ratu Mekkah
Pada mulanya, Siti Khadijah menikah dengan Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi. Pernikahan itu membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun. Tak lama kemudian suaminya meninggal dunia dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Lalu Siti Khadijah menikah lagi untuk yang kedua dengan Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi. Setelah pernikahan itu berjalan beberapa waktu, akhirnya suami keduanya pun meninggal dunia, yang juga meninggalkan harta dan perniagaan.
Dengan demikian, saat itu Siti Khadijah menjadi wanita terkaya di kalangan bangsa Quraisy. Karenanya, banyak pemuka dan bangsawan bangsa Quraisy yang melamarnya, mereka ingin menjadikan dirinya sebagai istri. Namun, Siti Khadijah menolak lamaran mereka dengan alas an bahwa perhatian Khadijah saat itu sedang tertuju hanya untuk mendidik anak-anaknya. Juga dimungkinkan karena, Khadijah merupakan saudagar kaya raya dan disegani sehingga ia sangat sibuk mengurus perniagaan.
Siti Khadijah mempunyai saudara sepupu yang bernama Waraqah bin Naufal. Beliau termasuk salah satu dari hanif  di Mekkah. Ia adalah sanak keluarga Khadijah yang tertua. Ia mengutuk bangsa Arab yang menyembah patung dan melakukan penyimpangan dari kepercayaan nenek moyang mereka (nabi Ibrahim dan Ismail).
Para sejawatnya mengakui keberhasilan Siti Khadijah, ketika itu mereka memanggilnya “Ratu Quraisy” dan “Ratu Mekkah”. Ia juga disebut sebagai at-Thahirah, yaitu “yang bersih dan suci”. Yapz, pertama kali dalam sejarah bangsa Arab, seorang wanita diberi panggilan Ratu Mekkah dan juga dijuluki at-Thahirah. Orang-orang memanggil Khadijah dengan Ratu Mekkah karena kekayaannya dan menyebut Khadijah dengan at-Thahirah karena reputasinya yang tanpa cacat.
Suatu ketika, Muhammad berkerja mengelola barang dagangan milik Siti Khadijah untuk dijual ke Syam bersama Maisyarah. Setibanya dari berdagang Maysarah menceritakan mengenai perjalanannya, mengenai keuntungan-keuntungannya, dan juga mengenai watak dan kepribadian Muhammad. Setelah mendengar dan melihat perangai manis, pekerti yang luhur, kejujuran, dan kemampuan yang dimiliki Muhammad, kian hari Khadijah semakin mengagumi sosok Muhammad. Selain kekaguman, muncul juga perasaan-perasaan cinta Khadijah kepada Muhammad.

“Aku menyukaimu karena kebaikanmu. Karena kejujuranmu dan karena keindahan karakter dan kebenaran kata-katamu.”

Kalimat di atas adalah kutipan ungkapan Siti Khadijah pada Nabi Muhammad saat Rasulullah menerima tawaran Khadijah untuk menikah dengannya seperti diceritakan dalam salah satu kitab biografi Nabi yaitu Siratu Rasulillah karya Ibnu Ishaq.

Setidaknya ada tiga pelajaran yang dapat kita petik dari kisah pernikahan Nabi Muhammad dan Siti Khadijah dan alasannya memilih Nabi sebagai pasangan hidupnya yang terakhir.

Pertama, pernikahan adalah hubungan persahabatan antara seorang laki-laki dan perempuan yang diharapkan akan berlangsung seumur hidup. Suatu hubungan persahabatan tidak akan berjalan dengan lancar dan harmonis apabila salah satu atau kedua pasangan tidak memiliki karakter yang baik.
Karakter baik dan buruk seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum menjatuhkan pilihan, antara lain, watak bawaan, lingkungan keluarga, lingkungan sekitar, lingkungan pendidikan dan wawasan keagamaan. Di antara semuanya, faktor watak bawaan dan wawasan spiritual adalah dua hal yang paling penting. Dan di antara dua hal ini, wawasan keagamaan hendaknya menjadi faktor penentu untuk menikahi seseorang. Rasulullah mengatakan bahwa seorang laki-laki yang menikahi wanita karena kesalihan wanita itu (fadzfar li dzatiddin) , maka dia akan beruntung (taribat yadaka). Nabi sangat tidak menganjurkan memilih pasangan hanya karena faktor harta atau fisik (cantik atau tampan) dengan tanpa melihat kesalihan sebagai pertimbangan utama. Quran bahkan menegaskan haramnya menikah dengan pria atau wanita nakal (QS Annur 24:3). Karena selain berdampak pada ketidakharmonisan dalam rumah tangga, juga berakibat kurang baik dalam proses pendidikan anak.

Kedua, pendidikan anak dimulai dari saat keputusan kita dalam memilih pasangan. Karena, menurut sejumlah ahli psikologi, kepribadian seseorang banyak dipengaruhi oleh dua faktor: keturunan dan lingkungan. Karakter warisan orang tua menjadi batas-batas kepribadian yang dapat dikembangkan. Sedang lingkungan—yakni sosial, budaya dan faktor situasional—akan mempengaruhi perkembangan aktual kepribadian anak dalam lingkup batas-batas tersebut.

Ketiga, sudah dimaklumi bahwa untuk mencari pasangan hidup yang ideal kita harus mengenal karakter yang sebenarnya dari calon pasangan kita. Dari kisah Siti Khadijah ini, kita tahu bahwa untuk mengenal kepribadian calon pasangan, tidak diperlukan proses pacaran atau “ta’aruf” terlebih dahulu. Yang diperlukan adalah penilaian orang-orang yang tahu betul perilaku calon pasangan kita.

Hal itulah yang dilakukan Siti Khadijah. Untuk mengenal Muhammad secara lebih dekat, Khadijah berkonsultasi dengan sepupunya Waraqah yang juga seorang pendeta Nasrani. Dia juga bertanya pada pembantu laki-lakinya yang bernama Maysarah yang menyertai Nabi dalam ekspedisi bisnis ke Suriah. Ia pun meminta tolong sahabat wanitanya bernama Nufaysah untuk mengutarakan niatnya pada Muhammad. Yang oleh Muhammad diterima dengan tangan terbuka.

Sikap Khadijah yang mengadakan pendekatan lebih dulu ini juga patut dicontoh kaum hawa. Apabila seorang wanita sudah merasa menemukan pasangan idealnya, tidak ada salahnya ia mengadakan pendekatan lebih dahulu melalui tanazur (ta’aruf interaktif). Tentunya hal ini melalui seorang perantara, example: orang tuanya atau tokoh yang dihormati, sebagaimana dicontohkan oleh Siti Khadijah.

Eits, artikel belum habis ni ceritanya....

Film “DMC (Dalam Mihrab Cinta)” buah karya Kang Abik juga menceritakan tentang bagaimana proses ta’aruf yang dilakukan oleh Silvi (Asmirandah) terhadap Syamsul Hadi (Dude Harlino). Keluarga Silvi berniat untuk menikahkan putrinya kepada seorang ustadz yang berakhlak santun. Dalam keputusannya, Syamsul akhirnya akan menikah dengan Silvy. Beberapa hari sebelum hari bahagia itu datang, Allah berkehendak lain. Silvy mengalami kecelakaan dan ia mengembuskan nafas terakhir dalam hidupnya. Syamsul sangat syok. Ayah Silvy (Izur Muchtar) sempat meminta Syamsul menikahi jasadnya. Oh...
 
Syamsul  kembali ke Pekalongan. Ia masih belum bisa melupakan Silvy. Suatu hari Zizi, kawan pesantrennya (Meyda Sefira) datang dan membawakan oleh-oleh dari Kediri. Zizi turut prihatin dengan kondisi Syamsul, orang yang dicintainya selama ini. 

Beberapa hari kemudian, kakak Zizi (pimpinan pesantren) datang untuk menyampaikan maaf sekaligus mengundang Syamsul untuk datang ke pesantren di Kediri. Selain itu, ia juga meminta Syamsul bersedia menikah dengan Zizi. Wah, sang kakak datang sebagai perantara nih...Akhirnya, Syamsul datang ke Kediri. Saat itu, Syamsul bilang.. “Saya datang ke sini dengan dua misi...” Hi..hi...geli juga mendengar penuturan Syamsul. Ya, misi pertama adalah silaturahim ke ‘mantan’ pesantren yang sempat mengeluarkannya. Serta misi kedua adalah untuk melamar Zizi...

Berdasarkan pendapat yang An terima dari sahabat Akhwat maupun Ikhwan, mereka berpendapat seperti ini:

“Begini sebenarnya, kalau menurut ana...Klo akhwat nembak ikhwan untuk menyatakan cinta ya ga banget..tapi klo nembak bermaksud untuk menyampaikan keinginan berta’aruf sich sah-sah aja, cuma budaya timur Indonesia yang belum terbiasa ttg hal itu. Sebelumnya si akhwat juga harus menyiapkan mental jika gayung tidak disambut” [Sahabat Akhwat di Kota J]
“Klo akhwat nembak ikhwan biasa aja, ik..Tapi emang risiko kalo ditolak kn akhwat patah hatinya lama banget, tpi klo ikhwan ditolak mgkin udah biasa...” [Sahabat Akhwat di kota S]
 “Gpp sih coz klo emg dy akhwat yg benar, psti “nembaknya” krn dy siap u/ sgera menikah..” [Ikhwan di kota S]
“Pada dasarnya, Allah memberikan derajat yang sama kepada seluruh hambanya. Baik wanita maupun pria. Tidak ada perbedaan derajatnya. Yang membedakan hanyalah, Iman dan Ketaqwaannya! Lalu, hubungannya dengan akhwat nembak duluan? Yaitu, wanita sah-sah saja menembak ikhwan lebih dulu. Sudah ada beberapa contoh yaitu bunda Siti Khadijah. Seorang wanita mulia, yang menikahi manusia paling mulia pula. Mungkin kita berfikir bahwa Siti Khadijah adalah seorang wanita mulia, dan kita tidak setara dengan beliau. Maka kita tidak boleh meniru beliau. Atau karena kita menganggap bahwa yang dinikahi oleh Siti Khadijah adalah seorang yang sangat mulia, sehingga kita memakluminya. Sedangkan sekarang, tidak ada lagi ikhwan yang paling sempurna. Maka sudah tertutup pintu wanita untuk menkhitbah duluan. Memang tidak ada seorangpun yang menyamai Rasulullah.
Lalu, apakah salah jika seorang akhwat menembak ikhwan duluan? Sebuah pertanyaan besar mungkin...Tidaklah wanita lebih rendah derajatnya, jika wanita itu menembak ikhwan duluan. Tetapi, kesiapan seorang wanita untuk menembak ikhwan duluan, haruslah sangat matang. Di samping kesiapan akidah dan ilmu, juga harus dikuatkan pada sisi mentalnya. Seandainya ikhwan tidak menerima tembakan akhwat, maka, harus diingat bahwa niat untuk menembak hanya karena Allah. Bukan karena siapa-siapa. Jadi meskipun ikhwan tidak menerima, akhwat tetap bisa berlapang dada. Karena niatnya, hanya untuk Allah... Ya, meskipun kita tahu. Bahwa, hati seorang wanita sangatlah sensitif untuk masalah yang satu ini..Tetapi minimal, bahwa rasa malu harus ditempatkan pada tempatnya. Akhwat boleh malu, misalkan saat tembakannya tidak diterima oleh ikhwan. Tetapi hal itu tidak memalukan. Perlu diingat, bahwa hal itu bukanlah perbuatan yang memalukan. Atau bahkan merendahkan derajat wanita itu sendiri....” [Fajar Agustanto, dlm novelnya yg berjudul “Aku Menggugat Ikhwan Akhwat]

Rasa malu memang sangat harus dipertahankan dalam kepribadian seorang muslim. Bahkan malu itupun adalah sebagian dari iman, bukan? Tetapi, yang paling penting adalah bisa menempatkan rasa malu itu sendiri. Tidaklah seorang muslim yang tidak dapat berlaku proporsional. Semua orang muslim, harus dapat menempatkan sesuatu dengan benar..

Seorang wanita datang kepada Rasulullah, shahabiah itu menghibahkan dirinya, untuk dinikahi oleh Rasulullah. Tetapi apa yang dilakukan Rasulullah? Rasulullah hanya terdiam, tidak berkata apapun sampai ketiga kalinya. Lalu tiba-tiba seorang pria berkata kepada Rasulullah ‘Wahai Rasulullah, nikahkanlah aku dengannya!’ Rasulullah mengatakan ‘Apa engkau punya sesuatu?’’ lalu jawab pria itu ‘Aku tidak memiliki apapun ya Rasulullah!’ lalu Rasulullah bertanya ‘Apakah engkau hafal suatu surat dalam Al Qur’an?’ lalu pria itu pun menjawab ‘Aku hafal ini dan itu!’ lalu Rasulullah, mengatakan ‘pergilah, karena aku telah menikahkanmu dengannya, dengan mahar surat Al Qur’an yang engkau hafal!’ apakah wanita itu menjadi rendah karena tidak dinikahi oleh rasulullah? Ataukah wanita itu rendah karena telah ditolak Rasulullah? Atau wanita itu rendah karena dinikahi oleh orang yang bukan Rasulullah? Apalagi dinikahi dengan mahar yang hanya hafalan Al Qur’an! Apakah wanita itu menjadi hina? Tidak! Shahabiah itu tetaplah seorang shahabiah. Seorang yang derajatnya tidaklah lebih rendah dari shahabiah-shahabiah lainnya

Siip dah, dari uraian di atas, bukan berarti seorang akhwat harus bersikap lebih agrresive daripada ikhwan...Bukan, kawan...Namun di sini An berpikir bahwa Islam adalah agama yang proporsional, yaitu memandang persamaan hak dan kewajiban muslim baik ikhwan maupun akhwat dalam memilih pasangan hidup sesuai dengan syariat, yakni melalui perantara. Yap, sekali lagi, melalui perantara. Entah melalui ortu, saudara sekandung, sepupu, sahabat, bahkan seorang murobbi (guru) dan orang terpercaya lainnya. Jika dirimu siap untuk segera menikah, maka niatkan hatimu karena Alloh SWT untuk meminangnya dengan cara yang diridhoi-Nya...^________^

‘Kalo canda seorang teman sudah tak lagi menentramkan jiwa,
Kalo mata sudah tidak dapat lagi ditundukkan pandangannya dengan sempurna
Kalo hati sudah merasa senantiasa gelisah,
Barangkali inilah saatnya untuk menikah bagi Anda’
(M.Fauhil Adhiim “Saatnya Untuk Menikah”)
Sumber Referensi artikel:
Arief, Nurhaeni. Engkau Bidadari Para Penghuni Surga, Kisah Teladan Wanita Saleha. Kafila: Yogyakarta: 2008
Taman, Muslich. Pesona Dua Ummul Mukminin, Teladan Terbaik Menjadi Wanita Sukses dan Mulia. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta. 2008
Razwy, Syeda. A. Khadijah, The Greatest of First Lady of Islam. Alawiyah Abdurrahman (terj.). Mizan Publika: Jakarta. 2007


Read Users' Comments (0)

0 Response to "Siti Khadijah, Pesona Sang Ratu Mekkah"

Posting Komentar

Thanks for reading
^________^

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver