Cerita Royyan


Angsa Putih

Seorang wanita paruh baya memandang wajahku. Pandanganku pun beralih kepadanya, melihat anak kecil yang digendongnya. Mereka tampak begitu kumal, pucat dan sepertinya tidak makan seharian. Wajah rentanya mengingatkanku kepada nenekku yang tinggal di Garut. Namun jiwanya sangat berbeda dengan pengemis kota lainnya. Dia bukan seorang peminta-minta. Ku lihat sikapnya menolak pemberian sedekah yang kuberikan. Beliau, seorang nenek yang penuh kasih sayang, mengungkapkan, “Berikan sedekah ini kepada orang yang lebih membutuhkan, Nak. Tebarkan senyum kebaikan kapanpun dan di manapun kau berada.”

Aku terhanyut akan nasihat nenek itu. Sungguh jarang, ku temukan kearifan orang seperti beliau di kota metropolitan ini. Ku amati punggung nenek itu dari kejauhan. Sebuah pertemuan singkat yang begitu berharga. Memori ini akan selalu tersimpan di hatiku.
Aku beranjak naik ke bus trans kota. Menyaksikan jejeran hutan beton yang terlintas. Menghirup kesesakan udara kota yang tercemar. Seperti biasa, ku berdiri di samping Pak Kondektur sambil berdiskusi singkat seputar negeri ini. Kata Pak Bonar sih, “Alangkah lucunya negeri ini, sang koruptor berkeliaran bebas menikmati kemakmuran di atas penderitaan rakyatnya.” Aku tersenyum kecil, mendengar kritikan dari Kondektur ini. Kepulan asap rokok keluar dari mulut beliau.

“Sebagai rakyat kecil, saya cuma bisa berangan-angan, dek. Coba kalau saya dapat amanah sebagai pemimpin, pasti saya akan kuasa untuk melakukan perbuatan haram itu. Yah, memang benar. Semakin tinggi kekuasaan, semakin tinggi pula badai yang menerjangnya. Hidup saya masih pas-pasan, dek, namun sering juga tertekan. Apalagi kalau tidak mencapai target setoran, bisa-bisa anak isteri ga dapat makan seharian, hahaha..”

Pak Bonar, kondektur tua itu juga mengingatkanku. Aku baru mengenal beliau sebulan yang lalu. Pada saat itu, peristiwa naas menimpaku. Ketika pertama kalinya ku menjelajah ibukota, dompetku raib di halte trans. Namun Pak Bonar berbelas kasihan kepadaku. Beliau melihat kemalanganku dan mengizinkanku naik bus. Mulai sejak itu, aku berhutang budi kepada beliau. Hubunganku dengan beliau pun cukup dekat. Setiap sore, ku tunggu bus trans kota “milik” Pak Bonar.

Sampai di rumah kontrakan, Alif, saudara sepupuku yang tinggal serumah denganku, menyerahkan secarik surat kepadaku. “Yan, ni ada surat dari Malaysia. Wah..wah..Korespondensi dari siapa, nih?” tanya Alif penasaran.
“Oh ya? Mana ku lihat suratnya. Dateng jam berapa, Lif?”
“Tak tahu. Tetangga sebelah menitipkannya kepadaku,” jawab Alif datar.

Ku buka secarik surat itu sambil menikmati wedang kopi jahe di dalam mug kecil pemberian Fatim. Gambar Gereja Bleduk khas LOETJU mengingatkan kenanganku di kota kelahiran, Semarang. Rasa penasaran membuncah hatiku. Di era modern ini, masih ada orang yang mengirimkan surat lewat Pak Pos. Kenapa tidak lewat email saja? Kan jauh lebih efisien dan efektif. Hal yang membuatku penasaran, surat ini asalnya dari Malaysia. Ku lihat nama pengirimnya. Tidak begitu jelas tulisan latinnya. Bismillah. Ku buka surat bermuatan penasaran itu.

To: Mas Royyan yang super
Assalammu’alaikum warahmatullah wabarakatuh....
Kaifa haluk, Mas Royyan? Wah, Alhamdulillah, pasti sehat-sehat aja, kan?
Alhamdulillah juga karena surat ini tersampaikan ke Mas Royyan....
Seusai 2 minggu keberangkatan Mas Royyan ke Jakarta, Fatim meninggalkan Emak dan Habib di rumah. Maaf, sebelumnya tidak pernah ngasih kabar, kalau Fatim sekarang lagi pertukaran mahasiswa di Malaysia. Fatim pesan kepada Emak, jangan bilang ke Mas Royyan dulu, biar Mas Royyan dapat kabar langsung dari Fatim, hehehe...

Fatim ga lama di Malaysia, kok, Mas Royyan, cuma setahun di sini....
Di Fakultas ini, Fatim dapat ilmu yang melimpah, Mas... tentang teknologi, kebudayaan, inovasi, filsafat, dan lain sebagainya...Ternyata, kebudayaan Indonesia dengan Malaysia tidak jauh berbeda.  Di sini, bahasa Fatim kadang-kadang campur Melayu dan Bahasa Inggris. Namun, tetap ada rasa rindu Fatim terhadap masakan Emak, kejengkelan Mas Royyan, teriakan Habib, dan semuanya...Semua hal dari rumah.
Di sini, Fatim tinggal di asrama, Mas...Jadi semuanya juga butuh kemandirian..tak berbeda dengan di rumah..Fatim harus bisa memasak, menyuci, menyetrika, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Fatim satu kamar dengan orang Turki, Mas Royyan...Wah, subhanallah, orangnya sangat cantik, perilaku dan bahasanya juga santun. Kapan-kapan ku kenalkan ke Mas Royyan, ya...Mungkin Masak terpesona, haha...^_^
Doakan Fatim, ya, Mas Royyan...supaya ku bisa istiqomah di sini. Karena merantau di negeri orang tak semudah Fatim bayangkan. Doa Fatim untuk Mas Royyan juga...Semoga Masak bisa survive dan sukses di Jakarta (kalau udah sukses, jangan lupakan Emak, Fatim, dan Habib, yaa).
Ok...Salam buat Mas Alif juga....Kata Emak, Mas Alif satu kontrakan dengan Mas Royyan, ya? Hehe....
Wassalammu’alaikum warahmatullah wabarakatuh
Antara Kuala Lumpur dan Jakarta,
Your Sister,
Fatimah Az Zahra

Subhanallah, adikku. Kau semakin dewasa ternyata. Aku tak bisa melukiskan dengan kata-kata. Kebanggaanku mempunyai adik sepertimu adalah sebuah anugerah yang tak terkira. Semoga keistiqomahan senantiasa menghiasi hatimu, ya, adik kecilku.

Emak, keimananku di Jakarta ternyata sedang diuji. Semoga ku bisa kuat menghadapinya. Yaa... Sebuah kebijakan perusahaan yang bermuatan kontradiksi atas tawaran tender yang lolos. Semoga saja apa yang  kupikirkan tidak akan terjadi. Aku berharap, pemimpin perusahaan itu meneladani sikap amanah Rasulullah SAW yang jauh dari sikap korupsi, kolusi dan nepotisme. Jika hal yang dikhawatirkan itu terjadi, maka tak segan-segan Royyan meninggalkan perusahaan ini saat itu juga.

Menjadi arsitek ternyata tidak mudah. Antara idealisme untuk menuangkan kreativitas dan kebaikan dalam setiap desain rancangan, memang membutuhkan pikiran jernih agar tidak terjerumus dalam sistem yang mematikan iman. Harus berani terjun melawan arus dunia hitam meski kadang dihiasi warna abu-abu. Sebatas mana keteguhan hatiku bertahan? Semoga Alloh senantiasa memberikan kekuatan dan kesabaran dalam perjuanganku menegakkan kejujuran.

Adzan Maghrib pun berkumandang. Ku lipat surat Fatimah ke bentuknya semula, seekor angsa putih yang menggambarkan hatinya yang jernih.

Sebuah cerpen untuk Keteguhan Hati
Terinspirasi oleh Notes “Di Batas Ketangguhan”
An Maharani Bluepen
180511 – 03.46 –
Revisi kembali 260711 – 06:59 –

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Cerita Royyan"

Posting Komentar

Thanks for reading
^________^

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver