Cerita Gan


KENANGAN BUAH TANGAN

Seperti kumpulan lebah yang keluar dari sarangnya, para peserta test PERTAMINA tingkat Provinsi keluar dengan wajah gelisah. Rupanya kami sedang beradu nasib dan terlihat pasrah. Aku mencari-cari batang hidung sahabatku di setiap titik lokasi. Aku masih ingat penampilannya pada pagi itu. Baju kotak-kotak biru celana hitam. Yap. Ku temukan dirinya sedang berbincang-bincang dengan seseorang. Aku tak tahu isi pembicaraan mereka. Aku amati dari kejauhan sambil membereskan kumpulan kertas yang masih berantakkan di ranselku. Tiba-tiba Joko mendekatiku.

“Hai, Gan, gimana tadi testnya? Sukses dan lancar nih kelihatannya,” ucap Joko dari arah depan.
“Biasa aja, bos. Alhamdulillah dapat kuisi semua, meski dengan aji keberuntungan. Haha..,” jawabku simpel. Hari pertama test sudah kami lalui. Tinggal menunggu saringan siapa saja yang lolos untuk tes kedua besok. Hmm. Tes Psikotes dan rangkaian FGD.
“Okelah kalo begitu. Ni, Gan, temenku Royyan, dia asli Semarang, anak UNDIP yang udah bekerja sebagai arsitek. Ntar malem kita menginap di rumahnya, Gan,” jelas Joko mengenalkan temannya.
“Owh, ku Gandita.  Asli Jakarta tapi kuliah di UNS,” ucapku sambil berjabat tangan dengan Royyan.
“Salam kenal. Yup. Maw ku ajak muter-muter kotaku sekalian nunggu pengumuman?” usul Royyan.
“Wah, usul yang bagus, tuh, Yan. Btw, maw ke mana aja, nih?” tanya Joko.
Up to you. Kalian udah pernah keliling kota Semarang belum, sih?”
“Yee. Kita kan baru pertama kali hijrah ke sini, Yan. Belum tahulah. Kalo bisa, cari wisata kuliner yang murah, ya. Kemarin ku beli makan kemahalan, Yan. Seporsi tahu gimbal 15.000 tanpa minuman. Beda banget ma di Solo,” keluh Joko.
“Hehe..salahnya ga ngajak ku makan. Okelah, ku ajak beberapa tempat, ya. Kalian kan ga bawa kendaraan, so, untuk lebih mudahnya, kita naek mobilku saja. Kita keliling kota Semarang mpe puas, deh,” saran Royyan.
“Siip, dah. Let’s go,” sahutku bersemangat, menimpali permintaan Royyan. Pria berkulit sawo matang itu memang terlihat lebih mapan karena sudah berpenghasilan namun tidak sombong atas fasilitas yang dimilikinya saat ini.

Joko berasal dari Surakarta, sedangkan aku berasal dari Jakarta. Kami belum pernah berhijrah ke Semarang. Aku hanya mengenal Semarang sebagai kota lunpia dan bandeng presto. Yaa. Keduanya adalah makanan khas kota ini. Selain itu, kota Semarang ternyata memiliki banyak kawasan wisata. Dua tahun sebelumnya, kota ini mengenalkan spirit SPA, “Semarang Pesona Asia”.  Pesona Asia seperti apakah? Aku jadi penasaran dibuatnya. Ku buka peta kota itu. Begitu banyak jalan yang terhubung di pusat kota.

Sebelum berkeliling, kami diajak Royyan rehat sholat ke Masjid Baiturrahman yang terletak di jantung kota, Simpang Lima Semarang. Masjidnya lumayan gedhe jika dibandingkan dengan Masjid Agung Surakarta. Usai shalat dzuhur, kami menuju kawasan pemuda. Mobil melaju agak cepat menuju ke Barat. Tak seperti di Surakarta, jalan raya di Semarang tampak lebih sempit namun lebih padat. Selain itu, ibukota provinsi ini terasa lebih gersang. Penghijauan kota terlihat masih minim, meskipun hanya sedikit hutan kota yang tersisa. Kami diselimuti udara panas dari celah jendela mobil. Royyan pun menaikkan volume AC sehingga kami tidak merasa lelah kepanasan.

Di kawasan Pemuda, ada ikon kota yang bernama Tugu Muda Semarang. Kata Royyan, tugu itu sebagai peringatan sejarah “Pertempuran Lima Hari di Kota Semarang.” Kalo dibandingkan dengan Tugu Monas, Tugu Muda lebih keliatan mini. Tugu yang berpenampang segi lima itu terdiri dari tiga bagian yaitu landasan, badan dan kepala. Pasa sisi landasan tugu terdapat relief serta keseluruhannya terbuat dari batu. Untuk memperkuat kesan tugunya, dibuat kolam hias dan taman bunga. Di sekeliling tugu terdapat aneka gedung antara lain gedung Lawang Sewu, Wisma Perdamaian, Museum Manggala Bakti dan Katedral.

Dari arah timur laut, tampak Gedung Lawang Sewu dalam pasca renovasi. Sejenak ku tertegun melihat banyak pintu dan jendela di gedung itu. That’s why, gedung putih itu bernama ‘Lawang Sewu’ yang artinya pintu seribu.
“Konon, gedung megah berbaya art deco ini digunakan Belanda sebagai kantor pusat kereta api (trem) atau lebih dikenal dengan Nederlandsch Indische Spoorweg Maschaappij (NIS). Menurut catatan sejarah, bangunan karya Arsitek Belanda Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J Queendag dibangun pada tanggal 1 Juli 1907. Saat ini gedung Lawang Sewu masuk dalam 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang. Gedung ini digunakan sebagai objek wisata dengan fasilitas berupa peninggalan sejarah arsitek bangunan kuno dan antik, ruang bawah tanah dan menara informasi, serta digunakan sebagai tempat pameran dalam event tertentu,” jelas Royyan panjang lebar. Dia memang seorang arsitektur ulung dan juga terlihat cerdas.

 Tak puas sampai di sini, kami berselancar ke kota lama yang hampir identik dengan kota tua di Jakarta. Perbedaannya, kota lama sangat sering dilanda ‘air rob’ hingga menimbulkan permasalahan krusial bagi pemerintah Kota Semarang. Kami berputar ke arah Selatan, melewati jalan Kalisari. Jalan ini tampak lebih asri daripada jalan besar lainnya. Setelah itu, kami menyusuri jejak Panglima Besar Cheng Ho di kuil Sam Po Kong, daerah Gedung Batu, Semarang. Rupanya kuil itu juga sedang direnovasi. Terlihat turis lokal maupun manca yang berfoto ria di sana. Retribusi masuk ke kuil tersebut ternyata cukup mahal, Rp 20.000/ orang. Terpaksa, kami hanya singgah ke halaman depan, mengabadikan jejak kami dengan patung besar Panglima Cheng Ho, panglima besar negeri Cina yang beragama muslim dan pernah bersinggah ke kota pesisir ini.

Perutku pun bernyanyi riang. Royyan mendengarnya sekilas, lalu mengajak kami ke kawasan Semarang atas. Saatnya untuk wisata kuliner ke daerah Tembalang, surga kuliner para mahasiswa kampus. Deretan warung makan terlihat di sepanjang jalan. Mulai dari warung lesehan sampai warung grobakan. Ada bebek goreng, ayam kremes, soto mules, nasi goreng, nasi bakar, gulei kepala ikan, tahu gimbal, pecel, penyet-penyetan, serta minuman yang bervariasi. Pada saat itu, kami memilih soto mules ala kota Semarang beserta es klamud alias kelapa muda untuk menyejukkan siang yang sangat terik. Hehe... Ternyata, nama hidangan hanya untuk menarik kunjungan saja. Tak berbeda dengan soto Solo, kuah sotonya tanpa santan dan aroma bawang gorengnya menggiurkan.

Usai makan siang, kami diajak Royyan ke toko souvenir yang terletak di tepi jalan Banjarsari. Ku lihat papan nama toko itu. LOETJU juga sesuai namanya. Ruangan toko itu tidak begitu sempit, namun terlihat aneka barang kreatif berjejeran di etalase; mulai dari pin, gantungan kunci, stiker, kaos, mug, plakat, dan jam dinding yang menggambarkan spirit kota Atlas. Selain kreatif, desain barang di toko itu cukup unik dan cocok dibawa pulang sebagai buah tangan. Royyan menerangkan bahwa toko itu sebagai buah prestasi dari kelompok mahasiswa pada program mahasiswa wirausaha Undip tahun 2009. Aku pun berjabat tangan pada sang penjaga toko sambil melihat gaya berpakaiannya yang kejawen, memakai batik dan blangkon. Rupanya dia desainer dari barang-barang kreatif yang ada di toko. Siip siip. Masih berstatus mahasiswa namun semangat wirausahanya luar biasa.

“Mas, pesenan saya kemarin sudah jadi, to?” tanya Royyan dengan logat Semarangan.
“Oh, sampun, Mas. Bentar, ya, ku ambil dulu di ruangan,” jawab Nandar, nama desainer toko LOETJU tadi.

 Aku lihat mug-mug kecil nan imut di etalase kayu di seberang. Hyumm.. Si Rani, keponakan kecilku pasti menyukainya. Ku taruh mug kecil itu di keranjang pesanan.

“Ni, mas Royyan. Pesanan undangan sudah jadi. Barakallah, ya, Mas, semoga pernikahannya berkah,” ucap Nandar.
“Hyum? Royyan menikah? Kapan? Dengan siapa, Yan? Koq ga bilang-bilang dalam perjalanan tadi?” tanya Joko penasaran. Dalam hatiku pun penasaran, sang arsitektur yang baru ku kenal itu meninggalkan status lajangnya.
“Hehe..Insya Alloh bulan depan. Mohon doanya, yaa,” jawab Royyan dengan lembut.
“Coba ku lihat undangannya. Wah, dapat orang mana, nih, Yan? Fenita Rosyida, S.Psi? Ihiir...dapat orang Psikologi, nii,“ canda Joko.

Dadaku berdesir pelan. Fenita Rosyida? Nama yang tak asing bagiku. Mahasiswa Psikologi Undip juga? Ku pastikan keraguan dengan mengajukan pertanyaan ke Royyan, “Sang calon asli mana, Yan?”
“Owh, dia asli Jakarta. Sepertinya kamu kenal, Gan,” ucap Royyan.

Deg. Denyut jantungku yang semula berdesir pelan tiba-tiba melaju sangat cepat. Dunia begitu sempit. Sesempit ruangan hatiku saat ini. Aku bertemu dengan pendamping hidup seseorang yang sangat ku kenal. Yaa. Fenita adalah cinta pertamaku saat SMA hingga bersemi saat ini. Namun mulai pudar saat ku dengar berita pernikahannya dengan Royyan. Jika perasaan perih ini tak bisa ku tahan, mungkin mug kecil yang ku genggam sudah hancur berkeping-keping. Aku mengendalikan emosiku dengan tersenyum kepada Royyan.

“Subhanallah. Barakallah, Yan. Fenita itu teman seperjuanganku saat SMA. Tak kusangka, bisa bertemu ma calon suaminya di sini,” kataku pura-pura tegar di hadapan Royyan.
 “Siip..Ana doakan semoga kalian bisa cepat menyusul,ya,” ucap Royyan kepada kami, pria-pria yang masih berstatus ‘lajang’ dan ‘pengangguran’. Joko hanya bisa menyengir, dan aku hanya bisa meringis, merasakan kepingan hatiku yang hancur saat ini juga.
“Ohya, kalian maw beli souvenir apa, ni? Mumpung masih di LOETJU, di Surakarta belum ada, to, toko kayak gini? Hihi...”
“Aku pesan mug kecil ma pin gedhe ni, Yan. Kamu apa, Ko?”
“Owh, jam dinding yang unik itu. Aku boleh ambil gambar yang ada lawang sewunya, Mas?” pesan Joko ke penjaga toko.
“Siip...Don’t be worry be happy with LOETJU. Hehe.. Mas Royyan pesan apa lagi, nih? Biasanya kalo ada orang nikah, pesan souvenir nikah juga. Mau, Mas? Aneka barangnya dan desainnya cukup dipilih saja di menu brosur pesanan kami. Ntar, kalo soal harga bisa nego, deh,” rayu Nandar, desainer LOETJU dengan logat lucunya.
“Ohya, ya, souvenir nikahnya ketinggalan. Pesan apa, ya? Ntar ku diskusikan dulu, deh, ma calon isteri. Btw, Mas, pesan tiga kaos LOETJU yang ada tulisan ‘Semarang Pesona Asia’, ya. Ntar, ada gambar ikon-ikon kota Semarang di depan kaosnya. Trus, belakangnya ada tulisan, ‘Kenangan bersama GJR; Gandita, Joko dan Royyan’. Gimana? Bisa diambil kapan?” tanya Royyan.
“Oke-oke. Untuk pesanan kaosnya, Insya Alloh bisa jadi tiga hari, Mas. Untuk warna dasar kaosnya putih ga apa-apa? Ukurannya apa aja?”
“Ukuranku M, Joko dan Gandita pun keliatannya sama dengan ukuranku. Benar, ga?” tanya Royyan memastikan. Kami pun mengangguk tanda riang dan setuju karena dipesankan kaos ma Royyan.

Tak terasa sudah setengah jam lebih kami berada di toko souvenir LOETJU. Atas berbagai memori yang terekam di toko ini tak akan ku lupakan. Mulai dari kebaikan Royyan yang mengantar kami berkeliling ke Kota Semarang, berwisata kuliner hingga berhijrah ke toko unik ini. Sebuah kenangan buah tangan yang sangat mengesankan. Hingga tiba waktu pengumuman tes PERTAMINA saat senja bergulir dengan tenangnya. Saat ku tahu, bahwa perjuanganku belum berakhir, masih ada tes kedua untuk besok. Dalam hati, ku berdoa pelan, “Ya Rabb, jangan cabut cintaku kepada-Mu karena aku kehilangan cintaku kepada makhluk-Mu. Berkahi aku untuk selalu berikhtiar, mencari rizki di jalan yang Engkau Ridhoi hingga ku bisa berbakti kepada ummi, orang tuaku satu-satunya di dunia ini. Ya Rahman...Lancarkanlah ujian tesku untuk besok pagi..aamiin.”

Untuk sebuah PR cerpen yang sempat tertunda,
Semoga bisa mengambil hikmah di dalamnya.
An Maharani Bluepen

250711-03:37-

Read Users' Comments (0)

0 Response to "Cerita Gan"

Posting Komentar

Thanks for reading
^________^

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver