Journey An

Cinta itu tidak buta bagi yang mengerti apa hakikat cinta. Cinta itu penuh cahaya bagi jiwa yang memahami bahwa cinta adalah sebuah anugerah sekaligus amanah. Ketika seseorang sudah bisa mencintai, maka ia akan mudah memberi apa yang sudah dimiliki. Namun, mencintai bukan berarti bisa memiliki apa yang dicintai. Mencintai adalah memposisikan letak kebahagiaan yang benar. Kata Ust. Salim A.Fillah, jalan cinta para pejuang adalah jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mempersilakan atau mengambil kesempatan...


Waktu semakin bergulir cepat seiring dengan perubahan fase dewasa kita. Gejolak perasaan semakin menderu bagi setiap insan yang belum menemukan belahan jiwanya. Belum lagi, memikirkan berbagai persiapan dalam menuju bahtera. Yaa. Kembali lagi, mencintai adalah mempertanggungjawabkan perasaan yang dimiliki. Apakah cinta itu bermuara ke ridho Illahi? Pernikahan bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk menggapai ‘tujuan’ ridho Illahi. Jika kita mempersiapkan diri dengan baik, maka tak segan Alloh akan mempertemukan jodoh yang baik untuk kita. Jadi, alangkah baiknya jika kita memantaskan diri dan memperbaiki akhlak setiap waktu. Semua ini dilakukan bukan untuk mendapatkan si “dia”, melainkan mendapatkan ridho Illahi yang hakiki.

Ada perbincangan seru yang saya peroleh  dalam Talk Show muslimah “Persiapan menuju Keluarga Sakinah” Jum’at (09/12) silam. Temanya cukup menarik dan pembicara yang hadir memberikan sisi konteks dari sudut pandang yang berbeda. Pembicara pertama, dr. Didit menjelaskan perencanaan keluarga kecil dan sejahtera. Karena berbasis kedokteran, beliau menjelaskan kaidah umur seseorang untuk menikah; wanita > 20 tahun dan pria > 25 tahun. Selain itu, jarak persalinan yang sehat antar anak, yaitu 4-5 tahun. Beliau juga menjelaskan bahwa Islam tidak membatasi anak namun memperhatikan kesejahteraan mereka. Boleh saja, memiliki lebih dari 2 anak namun kewajiban orang tua dalam mensejahterakan anak perlu dijaga. Pembicara kedua menjelaskan tentang persiapan-persiapan muslimah dalam menuju bahtera. Sebelumnya, beliau menjelaskan bahwa kapasitas setiap individu dalam menerima amanah dari Alloh adalah berbeda. Ada yang memiliki 6 anak dan outputnya berprestasi seluruhnya. Ada pula yang hanya memiliki satu anak namun tak becus mendidiknya hingga membuat anak orang lain berbadan dua. Sejauh mana kapasitas kita dalam membentuk keluarga yang sejahtera adalah perjuangan ikhtiar yang harus dipenuhi oleh rasa cinta dan keimanan. Yakinlah, Alloh tak akan memberikan cobaan di luar kemampuan hamba-Nya.

Ada enam persiapan-persiapan muslimah dalam menuju bahtera keluarga menurut versi pembicara kedua, Ninin Kholida, S.Psi, M.Kes:
1. Siap untuk menerima “orang lain” dalam hidup kita dan segala intervensi yang ada. Sebelumnya, pasangan kita adalah orang lain dalam hidup kita. Saat menikah, segala konsekuensi untuk menerima perbedaan pendapat, siap untuk berkerja sama dan memahami perbedaan karakteristik sifat masing-masing.
2. Siap untuk membekali ilmu rumah tangga untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan kita.
3. Siap untuk menerima peran baru sebagai isteri, ibu, dan anggota masyarakat di lingkungan kita.
4. Siap untuk meningkatkan keterampilan yang mendukung. Misal, untuk meningkatkan ilmu memasak, kita perlu menyiapkan belajar keterampilan memasak sebelum menikah. Ilmu dan keterampilan sabar juga perlu dilatih sedini mungkin.
5. Siap untuk meningkatkan kesehatan fisik dengan menjaga kesehatan sebaik mungkin. Misal, menjaga kesehatan rahim kita dengan tidak sering memakan mie instan.
6. Siap untuk memanajemen diri dengan baik, mengatur waktu yang bermanfaat dan menjalankan rutinitas dengan penuh rasa ikhlas.

So, bagaimana kadar kesiapan kita untuk menjadi isteri, ibu, dan anggota masyarakat yang sholehah?
:”)
An Maharani Bluepen
Ditulis dengan penuh rasa cintaa..
10 Desember 2011