Learning “Broken Heart” from Sayyid Quthb
Belajar Sakit Hati dari Sayyid Quthb
By: Muhammad Pizaro Tauhidi
Dialah
Ulama dan Mujahid yang berani mendobrak hegemoni Sosialisme Mesir. Tumbuh dalam
rimba kejahillayahan modern dan bergeming untuk turut andil melestarikannya.
Walau kesenangan itu sudah berada di depan matanya. Walaupun tahta sudah siap
menampuk tubuhnya. Kursi-kursi dunia itu disediakan untuk Sayyid Quthb asal ia
bersedia mengakui bahwa kedaulatan Islam belumlah final. Bahwa sistem buatan
manusia adalah jalan suci. Parlementari merupakan paras molek membangun
kejayaan hidup. Namun apa kata Sayyid? Ia menolaknya. Baginya, rasa sosialisme,
nasionalisme, bahkan demokrasi lebih pahit dari kehinaan dunia: sumir!
Sayyid
Quthb menolak menafsirkan kata tauhid hanya sekedar pengakuan lisan bahwa Allah
adalah Tuhan. Doktor Sastra dari Darul Ulum ini mempelajari Qur’an lebih
mendalam, dan ia menyimpulkan bahwa makna tauhid lebih dari itu.
Baginya
tauhid sudah satu paket dengan keharusan menjalankan hukum-hukum Allah (baca:
tauhid hakimiyyah) dan menolak bergabung dalam barisan oposisi tauhid. Memaknai
tauhid dalam dua jurang antara al-haqq dan al-bathil yang coba disatukan adalah
barisan absurditas yang sama sekali tidak akan mampu membawa Islam jaya.
Meskipun itu demi “maslahat dakwah”. Sekalipun itu memakai “baju” Islam. Sayyid
sudah tahu ukuran “baju” apa yang pas baginya, tidak lain adalah pengakuan
Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan kewajiban untuk mengindahkan pencampuran
antara hukum Allah dengan hukum positif (baca: hukum buatan manusia). Untuk
menyadarkan saudara-saudaranya, sampai-sampai ia harus menulis satu bab penuh
dalam buku Dirosah Islamiyah-nya, “Ambil Islam seluruhnya atau tidak sama
sekali!”
Ya
Sayyid Quthb, dia bukanlah ikhwan pada umumnya. Ia bukan juga ikhwan yang mudah
disetir. Membolak-balik tafsir Qur’an demi tujuan dunia. Duduk satu meja dengan
musuh-musuh tuhannya, dan keluar dengan titah bahwa Islam boleh disisipi dengan
isme lainnya. Itu sama saja memalukan Umat Nabi Muhammad saw. Baginya,
pengalaman meneliti kebobrokan sistem pendidikan dan moral di Amerika sudah
memberinya kesimpulan bahwa Islam adalah satu-satunya jalan. Bagi Quthb, produk
Undang-undang buatan manusia tidak akan pernah bisa sama sekali mengantarkan
manusia ke jalan Tauhidullah. Parlemen adalah ruangan tergelap di dunia, dimana
ketika manusia memasukinya, ia akan tersesat dan sulit untuk mencari pintu
keluar.
Mesir
menjadi murka. Negara dengan cap Musolini rasa Arabia itu, meminta hidup Sayyid
segera diakhiri. Apapun resikonya. Sayyid adalah bedebah bagi tirani
sekularisme, namun angin semilir dalam bumbu jihadi yang menyejukkan dan
mustahil berganti. “Selamat
datang kematian di jalan Allah, selamat datang kehidupan abadi” ucap
Sayyid dalam detik-detik menjelang syahidnya di tiang gantungan.
Perjalanan
Cinta Sayyid Quthb: Jatuh Bangun Menjemput Kasih Sayang Allah
Namun
dalam deretan kisah heroik itu Sayyid tumbuh dalam bingkai manusia natural.
Pemuda yang memiliki niat untuk menikah memang banyak, tapi menikah dengan cara
Islam dan memulai prosesnya lewat jalur tunggal berupa keikhlasan sebagai
manifestasi cinta kepada Allah adalah minimum. Cinta menjadi dua sisi mata uang
dalam kehidupannya: kesedihan dan ketakwaan. Tapi Sayyid Quthb tetap tegar,
sekalipun dirinya mengalami dua kali jatuh cinta dan dua kali patah hati.
Seperti
dikutip dari berbagai penulis yang mengambil kisah kehidupan Cinta Sayyid Quthb
pada sebuah tesis mengenai dirinya, kisah cinta Quthb berjalan pertama kali
saat seorang gadis datang mengetuk pintu hatinya. Dialah gadis pertama yang
membangkitkan kerinduan Sayyid untuk menautkan cintanya. Embun cinta itu datang
dari desa kelahiran. Namun tiga tahun sejak beliau harus menjauhkan raganya
dari gadis pujaan ke Kairo untuk menuntut ilmu agama, gadis tersebut ternyata
memilih menyerahkan cintanya kepada orang lain. Sayyid merasa terpukul
mendengar berita ini. Tak kuasa menahan sedih, seguk tangis tak terbendung.
Sangat dimaklumi bagaimana rasanya merelakan kepergian embun cinta pertama yang
pernah mengisi relung jiwanya, yang pernah melambungkan asa dan melejitkan
potensi kebaikannya. Cinta pertama memang indah, namun sakitnya menusuk ulu
hati hingga menganga.
Embun
cinta kedua lahir, menyejukkan dan membangkitkan kembali kerinduaan jiwa Sayyid
untuk menautkan cintanya karena kecintaan kepada Allah. Gadis kedua ini berasal
dari Kairo. Mengenai gadis ini sang Sayyid pernah menggambarkan bahwa paras
gadis ini tidaklah buruk namun gagal untuk dibilang cantik. Nampaknya ada
pesona lain yang memikat Sayyid sehingga merindukannya. Mungkin tatapan
menyejukkan yang dibawa embun cinta ini. Sayangnya, lagi-lagi takdir tidak
bermurah hati dengan cinta sang Sayyid. Di hari pertunangannya, Sayyid seakan
disambar petir, pasalnya gadis tersebut sambil menangis menceritakan bahwa
Sayyid adalah orang kedua yang hadir dihatinya. Perkataan gadis itu seakan
meruntuhkan harapan sang Sayyid untuk mendapatkan gadis yang perawan fisiknya,
perawan juga hatinya.
Sayyid
akhirnya memutuskan hubungan dengan gadis Kairo tersebut, pergi membawa raganya
jauh dari embun cintanya. Raga Sayyid boleh saja menjauh, namun jiwanya
ternyata tak mampu melepaskan pesona sang embun cinta. Selanjutnya apa yang
terjadi? Sayyid tenggelam dalam penderitaan jiwa yang selalu dibawa atas nama
cinta. Kesedihan bercampur kerinduan ternyata lebih menyiksa Sayyid dibanding
goresan pedang yang menyayat tubuhnya. Akhirnya Sayyid mengorbankan
idealismenya kemudian pergi menjemput dan rujuk kembali dengan gadis pembawa
embun cinta tersebut. Namun sayang, kali ini gadis itulah yang menolak cinta
sang Sayyid.
Perih
bukan main gejolak rasa yang dialami Sayyid. Ada banyak puisi yang lahir dari
penderitaan yang dirasakan Sayyid tersebut. Bahkan tercipta roman-roman yang
merupakan bayang-bayang romansa cinta tersebut. Inilah peristiwa kedua yang
membuat luka batin sang Sayyid. Saat harapannya menggantungkan cinta terputus
oleh kekuasaan takdir. Menorehkan luka yang menganga menabur kepedihan.
Namun
bukan Sayyid Quthb namanya bila beliau harus hancur gara-gara cintanya yang
terhempas takdir. Dengan kebesaran hati dan sikap husnudzon terhadap
takdir Allah, tanpa menafikkan kesedihan yang melanda hatinya, beliau berujar
kepada sang Pemilik takdir “Apakah
dunia tidak menyediakan gadis impianku? Ataukah pernikahan tidak sesuai dengan
kondisiku?”. Saat cinta yang dirindu tak kunjung menerimanya, maka
beliau menggantungkan seluruh cintanya pada Dzat yang selalu mencintainya, yang
cintanya tidak akan pernah terputus, yang cintanya kekal abadi. Cintanya Allah.
Ya, Allah. KepadaNyalah beliau menumpah ruahkan seluruh cinta dan
mimpi-mimpinya yang tertolak takdir, sambil berlari menjemput takdirnya yang
lain.
Yang
luar biasa adalah, Asy-Syahid sadar dirinya berada dalam realitas. Bukan dalam
dunia ideal yang melulu posesif, indah dan tanpa aral. Kalau cinta tak mau
menerimanya, biarlah ia mencari energi lain yang lebih hebat dari cinta.
Ternyata
energi itu tidak jauh-jauh dari kehidupannya, Allah lah Energi yang kemudian
membawanya ke penjara selama 15 tahun. Dan di penjara itulah beliau dengan
gemilang berhasil menulis tafsir Fi Dzhilalil Qur’an dengan cinta. Sebelum
akhirnya harus meregang nyawa di tiang gantungan. Sendiri! Dengan cinta yang
sudah tertumpah ruah semua untuk Rabbnya, hanya kepada Rabbnya.
Bahkan
dalam novel Duri
Dalam Jiwa yang ditulis Sayyid pada tahun 1947 sebelum Sayyid Quthb
bergabung dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Sayyid sukses menunjukkan
kepiawaiannya dalam mengolah kata dan menyajikan konflik yang pekat dengan
empati, melibatkan ilmu jiwa dan penghayatan mendalam. Sulit untuk berhenti
sejenak membacanya karena takut kehilangan feel yang telah didapat.
Dalam novel ini kita diajak untuk merasai lika-liku perasaan manusia dalam
mengolah suatu rasa yang disebut cinta, cinta antar manusia. Kita diajak
menyelami dalamnya cinta dan kebodohan sekaligus tarikan magnetisnya. Kita
diajar untuk menjadi pecinta sejati yang tidak takut untuk berproses mengubah
rasa tidak suka menjadi rasa suka, benci menjadi cinta.
"...Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS. Al-Baqarah [2] : 216)
Begitu
dalam dan lembutnya Sayyid Quthb dalam bermain kata, pembaca mungkin memerlukan
pikiran jernih untuk menangkap pangkal konflik. Mengutip dari pengantar dalam
buku ini, di dalam novel ini, Sayyid Quthb secara halus dan lembut
mengisyaratkan betapa pentingnya arti keperawanan seorang gadis, karena begitu
hal ini diragukan maka persoalan pelik pun akan muncul. Ada perasaan terhina
dan luka hati bagai tertusuk duri dan dapat menjadi beban sepanjang hidup.
Membaca
buku ini menjadi suatu kenikmatan tersendiri. Begitu banyak hikmah implisit
dalam tiap lika-liku perasaan para tokoh yang dihadirkan: cinta, kejujuran,
ketulusan, pengorbanan, kepasrahan, dan keberanian.
Problematika Cinta: Sebuah
Refleksi
Kita
mungkin pernah sama-sama merasakan layaknya seperti Sayyid Quthb bahwa ada
suatu fase dalam hidup kita saat dimana pikiran, hati, kaki, tangan, dan jiwa
kita disinggahi oleh cinta. Bahkan kita juga sempat mencicipi bagaimana segala
kebahagiaan hidup ditentukan dari kesuksesan cinta dalam balutan standar
manusia. Pada konten ini kemudian cinta berubah menjadi sayembara yang kerap
melontarkan kata-kata penjara jiwa seperti “Hidup kita hancur tanpa
keberhasilan menaklukan cinta”. Sedangkan, remaja kerap berkata, “Jika
mempunyai kekasih, belajar rasanya akan lebih termotivasi”. Malah bisa jadi ada
sumpah serapah yang terlontar kepada laki-laki atau perempuan yang telah
mengkhianati cinta kita.Ikhwatifillah,
tanpa disadari ternyata kita sudah meletakkan sesuatu yang pasti kepada manusia
yang lemah, individu yang justru tak tahu masa depan itu sendiri!
Ketika
kita mulai menjajakan cinta dan menggantungkan harapan cinta itu kepada
manusia, yakinlah ikhwah,
yang ada hanyalah kekecewaan, karena kemampuan manusia sangatlah terbatas. Ia
tidak bisa memastikan, lebih-lebih menjadi penentu takdir kita. Padahal manusia
tetaplah manusia dengan segala kelemahannya. Adagium, sepandai-padaninya tupai
melompat akhirnya jatuh juga bukan sekedar pepatah dalam rangka mengingatkan
ikhtiar manusia, karena pada kenyataannya, Allah telah menggariskan kemampuan
manusia jauh sebelum adagium itu hadir. “Dan
manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”(QS. An-Nisa [4] : 28).
\“Allah
telah menciptakan kalian lemah, kemudian menjadi kuat, lalu setelah kuat kalian
menjadi lemah dan tua.” (QS.
Rum [30] : 54).
Bahkan
pada momentum ayat yang lainnya, Allah dengan terang-terangan
mengidentifikasikan manusia dalam keadaan yang begitu rentan terhadap hati.
Dalam surah ke 70 ayat 19, Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat
keluh kesah lagi kikir”,
Tidak
berakhir di situ, kemudian Allahpun menjelaskan lagi perihal makhluk hidup yang
akan membuat kita terangsang untuk lekas mengintropeksi diri, muhasabah, dan
kembali kepada khittah kehidupan
cinta, yakni firman yang berbunyi selang dua ayat berikutnya, “dan apabila ia mendapat
kebaikan ia amat kikir”.
Ada
banyak varian dari timbulnya problematika cinta, salah satunya bagaimana kita
salah mengelola qalbu dalam cinta.Qolbu adalah
wilayah yang urgen dalam kehidupan, hingga Rasulullah saw pernah mengeluarkan
hadisnya yang menyentuh,
“Ketahuilah
sesungguh dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik seluruh jasad akan baik
pula. Jika ia rusak maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah
qalbu.”
Banyaknya
manusia yang terpuruk dalam cinta dan dikuasai hawa nafsu tak lepas karena kita
telah menggantungkah harapan kepada selain Allah. Merasa diri sombong dengan
meletakkan ayat-ayat ilahi sebagai prioritas kedua dalam mengatasi permasalahan
kita.
Salah
Satu Kunci Kenyamanan Hidup Dimulai Dari Bagaimana Kita Mampu Membangun Suasana
Hati
Saudaraku,
belajar dari kisah cinta Sayyid Quthb, percayalah bahwa hati yang cemas, kikir,
gelisah, kotor, dan merasa lelah menjalani hidup, dikarenakan kita sudah
meletakkan standar-standar duniawi sebagai syarat kebahagiaan hakiki. Kita rela
menyiksa hidup dengan syarat-syarat wahn yang
sebenarnya tak bisa kita lakukan. Kalau kita mau jujur, kesemua itu malah jauh
dari sumber kebahagiaan yang sebenarnya, yakni ketenangan hati untuk bagaimana
kita selalu berusaha dekat dengan Allah.
Saudaraku,
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu pernah
berkata bahwa “Tidak sempurna keselamatan qalbu seorang hamba melainkan
setelah selamat dari lima perkara: syirik yang menentang tauhid, bid’ah yang
menyelisihi As-Sunnah, syahwat yang menyelisihi perintah, kelalaian yang
menyelisihi dzikir dan hawa nafsu yang menyelisihi ikhlas.” Hamba yang memiliki
qalbun salim akan selalu mengutamakan kehidupan akhirat daripada kehidupan
dunia yang mana Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah mempersiapkan tempat di surga.
Saudaraku,
salah satu kunci kenyamanan hidup dimulai dari bagaimana kita mampu membangun
suasana hati. Jika hati kita ikhlash dan bersih dengan penuh ketawadhuan,
sesuatu yang kita pandang hina jadi sedemikian mulia, yang tadinya kita pandang
kurang ternyata teramat cukup, sesuatu yang kita lihat kecil dan tak berdaya
berubah jadi sangat besar dan penuh makna, dan apa yang kita lihat sedikit,
ternyata terlampau banyak. Dan itu di mulai dari bagaimana kita hanya
bergantung kepada Allah dan menjadi Allah sebagai satu-satunya zat yang mampu
membuat kita bangkit setelah terjatuh.
Sekarang
pertanyaannya apakah kita mau melepaskan segala ukuran ideal kehidupan kita,
kesombongan kita atas pilihan yang jauh dari genggaman kesanggupan kita. Kini,
apakah kita juga rela berhenti sejenak melepas atribut keduniawian kita untuk
menghadap one
by one dengan Allah dengan berkata jujur di depan
SinggasanaNya. Jika kita berani, rasakanlah ada aliran kesejukan dan ketenangan
yang sebelumnya tidak kita rasakan. Ia menentramkan. Ia pun mampu merubah
paradigma kita tentang cinta, hidup, dunia, ujian, dan sebagainya sama sepertia
yang Sayyid Quthb rasakan. Jika kita masih bergeming, yakinlah sebenarnya itu
kembali kepada diri kita pribadi.
“Maka apabila hari kiamat telah datang. Pada hari ketika manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. Dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada tiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia maka sesungguh nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang yang takut kepada kebesaran Rabb dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu maka sesungguh surgalah tempat tinggalnya.” (QS. An-Naziat [79] : 34-42)
0 Response to "Learning “Broken Heart” from Sayyid Quthb"
Posting Komentar
Thanks for reading
^________^