Resensi "The Half Full - Hall Empty"
Resensi
Buku “Setengah Isi Setengah Kosong”
Buku Pinjaman Perpusda |
Judul : Setengah Isi dan Setengah
Kosong (Half Full – Hall Empty)
Penulis : Parlindungan Marpaung
Penerbit : MQS Publishing
Kota : Bandung
Tahun : Cetakan XII, September 2007
Komposisi : xx +336 hlm; 11,5 x 7,5 cm
Lihatlah sebuah gelas yang berisi
setengah air. Apa yang Anda pikirkan saat melihat gelas itu? Cara pandang yang
positif akan sangat mempengaruhi efektivitas kerja, bahkan gerak hidup kita.
Ketika Anda melihat gelas tersebut setengah kosong, maka ilustrasi yang Anda
berikan, mencerminkan pandangan yang pesimis. Berbeda ketika Anda melihatnya
masih ada setengah isinya. Hal ini mencerminkan cara pandang Anda yang positif.
Ilustrasi ini dapat pula dicontohkan
ketika jam kerja sudah mendekati akhirnya, pukul 15.45 WIB, dan masih ada
pekerjaan yang tersisa. Sebagian orang dapat saja mengatakan, “Ah, tangguhlah,
besok saja. Sebentar lagi juga pulang.” Sebagian lagi justru mengatakan
sebaliknya, “Mari saya selesaikan, mumpung masih ada waktu 15 menit lagi. Besok
kita memiliki pekerjaan lain.” Sungguh kedua pandangan yang berbeda, bukan?
Cara kita memandang orang lain akan
sangat mempengaruhi bagaimana hubungan kita dengan orang tersebut selanjutnya.
Ada saja orang yang berkutat pada sisi negatif orang lain dibandingkan
potensi-potensi yang masih dimilikinya. Masih ada juga segelintir orang yang
lebih suka menceritakan “gelas kosong” orang lain daripada “gelas isi” dirinya.
Para ahli mengatakan bahwasanya cara pandang ini sangat besar dipengaruhi oleh
apa yang masuk ke pikiran. Baik itu melalui media bacaan, tontonan, maupun
hasil diskusi dengan orang lain, juga sistem pola asuh di rumah. Menariknya
lagi, cara pandang ini tidak ada hubungannya dengan gelar yang disandang,
pangkat, jabatan, serta kekayaan seseorang. Semua hal ini semata-mata
tergantung daripada kualitas mental seseorang.
John Wesley pernah bertutur, “Lakukan
yang terbaik yang bisa Anda lakukan, dengan segenap kemampuan, dengan cara
apapun, di manapun, kapanpun, kepada siapapun, sampai Anda sudah tidak mampu
lagi melakukannya.”
Lewat buku “Setengah Isi dan Setengah
Kosong”, Parlindungan Marpaung mengajak para pembaca untuk mengembangkan sikap
positif dalam memaknai hidup. Lebih dari itu, 63 kisah-kisah khas yang tersaji,
akan memberikan pengertian sekaligus pemahaman tentang kasih sayang,
komunikasi, motivasi, profesionalisme, dan sikap hidup. Anda tidak hanya
berkaca untuk kehidupan masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Anda juga bisa
menjadikan hidup menjadi lebih hidup usai membaca buku full inspiration ini. Mungkin kalo dilihat memang udah cukup lama
buku ini “best seller”, tapi saya baru membaca pekan ini.
Optimisme yang sesungguhnya adalah
menyadari masalah serta mengenali pemecahannya. Mengetahui kesulitan dan yakin
bahwa kesulitan itu dapat diatasi. Bukan menitikberatkan pada “How to life”
melainkan “Way of life” dalam hidup. Melihat pandangan negatif, tetapi
menekankan yang positif. Menghadapi yang terburuk, sekaligus mengharapkan yang
terbaik. Mempunyai alasan untuk menggerutu, tetapi memilih untuk tersenyum.
Di antara seribu alasan untuk
menyerah, buku ini memang rekomendasi yang sangat cocok bagi jiwa Anda yang
rapuh. Buku yang mampu mengisi kekosongan jiwa Anda dengan semangat baru,
harapan, dan optimisme. Saya sendiri membuktikan dengan membacanya,
memahaminya, dan sebagai tindak lanjutnya harus mengaplikasikannya dalam
kehidupan. Memang benar apa yang disampaikan oleh beliau, “Tantangan dan masalah merupakan tanda bahwa kita masih hidup. Jika
dicermati lebih jauh, memang tidak satu tempat pun di dunia ini yang terbebas
dari tantangan. Tantangan sesungguhnya adalah membuat seseorang semakin matang
dan dewasa dalam perkembangan mental. TANTANGAN yang dilakoni dengan baik akan
memberikan pembelajaran paling berharga bagi kehidupan seseorang.”
So,
berani menghadapi tantangan dalam hidup?
Ada satu kisah inspiratif yang
“menyentil” hati saya saat mengambil pesan tersirat di dalamnya. Berikut, boleh
disimak J
“Mana
Kaus Kaki Saya?”
Seorang pemuda yang hendak menikah
tiba-tiba merasa tidak PD dan bermaksud mengurungkan niatnya untuk menikah.
Alasan yang disampaikan kepada orang tuanya adalah karena kakinya yang selalu
bau. Apa jadinya jika nanti dia harus hidup serumah bersama sang istri dengan
kaki yang selalu bau, tentu kehidupan rumah tangganya akan terganggu dan tidak
nyaman. Atas dasar itulah, sang pemuda tidak berminat lagi untuk melanjutkan
rencananya untuk menikah. Untunglah, Ayahnya tidak putus asa dan menasihati
anaknya, bahwa cinta bukan hanya dilandasi oleh hal-hal fisik, melainkan oleh lebih
dari itu adalah perhatian, kesungguhan, dan tanggung jawab. Inilah juga yang
diperlukan oleh sang isterinya kelak. Oleh karena itu, sang ayah menawarkan
bagaimana jika sudah menikah, nanti, anaknya selalu menggunakan kaus kaki di
rumah, dengan alasan dingin dan takut kakinya lecet.
“Wah, usul yang baik,” kata sang anak.
Apalagi dia telah menerima inspirasi pernikahan yang menyangkut keseluruhan
aspek dari ayahnya, sementara kaki bau adalah salah satu aspek penting. Usul
pun diterima dengan baik oleh sang pemuda. Kini, ia memiliki rasa percaya
dirinya untuk menikah bangkit kembali.
Ternyata, di tempat lain, calon istri
si pemuda tadai juga mengeluh pada ibunya. Sungguh, suatu kelemahan yang luar
biasa, ternyata ia juga berniat untuk membatalkan pernikahannya. Alasan yang
disampaikan kepada ibunya adalah karena mulutnya yang selalu bau. Bahkan,
sangat bau melebihi rata-rata bau mulut orang lain. Hal itu dia rasakan setiap
bangun pagi.
“Bagaimana sikap suamiku nanti? Tentu
sirnalah kecantikan yang aku miliki karena bau mulutku ini,” gumamnya. Adapaun
sang ibu, ketika mendengar keluhan putrinya menjadi panik, apalagi undangan
pernikahan sudah tersebar, apa jadinya nanti jika dibatalkan begitu saja?
Akhirnya perlahan-lahan sang ibu memberikan nasihat tentang hakikat pernikahan.
Ibu yang bijak itu mengungkapkan bahwa sebuah ikatan perkawinan tidak sekedar
berlandaskan hal-hal yang bersifat fisik semata, melainkan lebih dari itu, di
dalam sebuah pernikahan ada cinta yang menjadi salah satu faktor penopang terpenting
sebuah perkawinan. Oleh karena itu, sang ibu menawarkan usulan yang sangat
masuk akal, yakni setiap bangun tidur yang pertama kali dilakukan adalah
langsung ke kamar mandi dan berkumur-kumur dengan obat kumur dan diusahakan
jangan sampai ketahuan suami sebelum berkumur-kumur. Sebuah solusi yang
sederhana.
Alhasil, pernikahan dua sejoli itu pun
berjalan dengan lancar. Selepas hari bersejarah tersebut, mereka hidup bahagia
dengan berusaha untuk menutupi kelemahan masing-masing. Sang suami memiliki
kelemahan kaki yang sangat bau, sedangkan sang isteri memiliki mulut yang
sangat bau. Akan tetapi, kehidupan perkawinan yang diliputi usaha untuk
menutupi kelemahan diri itu rupanya tidak bertahan lama, seperti kata pepatah,
“Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya
jatuh juga.”
Hingga suatu pagi di bulan kelima
pernikahan mereka, sang suami bangun karena sangat kaget saat kaus kakinya
terlepas dan perlahan-lahan mulai menyebarkan bau ke seluruh ruangan. Dia
semakin panik untuk mencari satu kaus kaki yang lepas tersebut, sementara
isterinya masih tidur. Dia lalu merangkak ke bawah tempat tidur untuk mencari
kaus kaki tersebut, namun kaus kakinya tidak ditemukan. Kemudian dia
membalik-balikkan selimut dan sprei dengan panik dan gelisah. Mendengar suara
gaduh, sang istri bangun dan kaget hingga lupa “rumus” ibunya, dia berteriak,
“Ya Alloh, apa-apaan ini, Mas. Pagi-pagi sudah sibuk dan berantakan sekali. Mas
lagi nyari apa?” Mendengar protes dari isterinya, sang suami berteriak amat
keras, “Ya ampun, kenapa kaus kaki saya kamu makan?”
;):)
“Bukan
titik yang menyebabkan tinta, melainkan tinta yang menyebabkan titik. Bukan
cantik yang menyebabkan cinta, melainkan cinta yang menyebabkan cantik”, ungkap
Penulis.
:):):)
An Maharani Bluepen
26
Jumadil Awal 1433 H
kunjungan gan.,.
bagi" motivasi.,.
fikiran yang positif bisa menghasilkan keuntungan yang positif pula.,..
di tunggu kunjungan balik.na gan.,.,
thanks kunjungan baliknya:)