[CERPEN] Ketika Aksara Berbicara

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Bismillaahirrahmaanirrahiim

KETIKA AKSARA BERBICARA


Seusai meninggalkan ruang pemeriksaan itu, tiba-tiba saja di sekelilingku terasa gelap. Bibirku kelu. Jalanku gontai. Pikiranku melayang entah ke mana. Dadaku sesak. Tangisku tak bisa terbendung lagi. Aku melihat kertas hasil pemeriksaan itu sekali lagi. Benar, kertas pemeriksaan ini milikku dengan namaku yang tertera jelas. Namun aku sungguh tak percaya. Hasil pemeriksaan benar-benar tidak membuatku tidak berdaya. Aku positif HIV.

Di ujung koridor Rumah Sakit, aku tak mampu pulang dengan keadaan seperti ini. Perasaanku berkecamuk, merasakan semua mimpi buruk yang hadir dalam dunia nyataku. Namun dua kali lagi aku memeriksa kesadaranku. Benarkah kini aku berada dalam kenyataan? Kenyataan hidup yang sangat pahit. Kenyataan yang benar-benar di luar logika. Bagaimana mungkin aku mendapatkan virus mematikan itu? Kehidupanku selama ini berjalan di atas normal. Aku bersikap layaknya seorang muslimah. Pergaulanku tidak ada yang melanggar norma yang ada. Bahkan aku sangat berhati-hati dalam berinteraksi dengan lawan jenis. Lingkunganku begitu jauh dari narkoba dan seks bebas.
Aku begitu lama berpikir. Sepengetahuanku gejala mual dan pusing bukan merupakan gejala utama penyakit ini. Badanku akhir-akhir ini memang begitu lemas yang disertai mual dan pusing. Hal ini disebabkan oleh pekerjaanku sebagai seorang guru lembaga pendidikan autisme yang memeras energi dan kesabaran ekstra. Aku sering pulang larut malam hingga melupakan asupan giziku. Sudah sebulan suamiku bertugas ke Australia. Dua minggu lagi dia akan pulang ke rumah. Setelah itu dia akan pergi lagi untuk menunaikan tugasnya ke Singapore. Meskipun demikian, komunikasi kami tetap lancar. Dia selalu menanyakan kabarku hampir setiap hari. Lalu, bagaimana aku mengkomunikasikan berita buruk ini kepadanya?
Aku tak mungkin terkena HIV. Tapi realita berkata tidak. Aku mencari sebab lain yang mendukung kesimpulan bahwa aku tak mengidap virus mematikan itu. Namun HIV bisa menyerang siapa saja, termasuk orang-orang alim sepertiku. Pikiranku terasa buntu. Tak bisa mencerna dan menerima kenyataan ini. Aku tak mungkin menuduh suamiku yang bekerja sebagai wiraswasta, salah satu kelompok risiko tinggi (risti) HIV. Aku sangat mengenal suamiku sejak kami duduk di bangku kuliah. Kepribadiannya sebagai pengusaha muda, sangat jujur dan santun. Mana mungkin dia mengkhianati dan membohongiku? Meskipun tergolong kelompok risti, ia tak mungkin berbuat hal yang bodoh hingga tertular virus HIV. Pernikahan kami memang tergolong sangat muda, yakni satu tahun. Dia belum pernah membohongiku apalagi menyakitiku. Aku menghormati keputusannya ketika ia ditugaskan ke luar negeri yang memang sarat akan godaan dan ujian. Lantas, hal apa yang harus hamba lakukan, ya Rabb…hamba sangat membutuhkan pertolongan dan petunjuk-Mu saat ini juga……(Innaka ni’mal maulaa wa ni’mannashir)
Tiba-tiba Hpku berdering..ternyata ada SMS dari salah satu murid kesayanganku.
“Bu Guru, Ical lagi sedih. Ibu bisa maen ke rumah?”
Deg. Dalam kondisi kritis seperti ini bisakah aku menghibur muridku yang sedang lara? Pertama, aku bingung harus menjawab bagaimana. Kedua, SMS ini harus kujawab secepat mungkin agar tangisan Ical tidak meledak. Seberat kondisiku saat ini, aku harus bangkit dan pergi ke rumah Ical. Namun tangisan hatiku belum berhenti juga. Badanku belum mampu untuk bangkit. Ya Rabb..kuatkanlah hamba…
Bismillah. Akhirnya aku putuskan untuk pergi menjenguk Ical. Aku menahan semua tangisku dan bersikap sewajarnya. Meskipun aku tak pandai menyembunyikan kesedihan ini, aku mencoba untuk tetap tersenyum ketika ada orang yang menatapku.
Ical, murid lelakiku yang tuna wicara terlihat senang ketika melihatku datang menjenguknya. Dia berlari menuju ke arahku seraya ingin mengucapkan ‘selamat datang’ atas kehadiranku. Rupanya kehadiranku kini sangat berarti untuknya karena kedua orang tua Ical jarang berada di rumah. Hal ini menyebabkan Ical sering kesepian di tengah rumahnya yang megah.
Dengan bahasa isyarat, dia mencoba untuk berkomunikasi denganku. Aku pun berusaha untuk memahami setiap gerakan bahasa isyaratnya. Ternyata, tangisannya mulai meledak ketika dia mengucapkan sepenggal kalimat.
“Ibu, mengapa Alloh memberikan sebuah kesedihan kepada hamba-Nya?”
Aku terperanjat dan berpikir mencari jawaban yang tepat. Dengan bahasa isyarat pula aku menjawab pertanyaan Ical. Sebenarnya bisa saja aku menjawabnya langsung dengan ucapan. Namun hal itu tidak adil untuknya yang tidak bisa mengeluarkan suara.
“Huum..karena kesedihan akan memberikan kekuatan kepada orang beriman untuk tetap bertahan. Namun hal ini tergantung dengan pandangan seseorang ketika dia dihadapi dengan ujian itu. Apakah ia bisa bersikap tegar atau mungkin sebaliknya. Dengan bersedih, seseorang akan mengenal penderitaan hidup. Dan di balik penderitaan itulah sesungguhnya dia memperoleh kekuatan jika ingin bersabar. Kalau boleh tahu, Ical sedih kenapa?”
“Apakah benar bu, kesedihan itu bisa memberikan sebuah kekuatan? Tapi sungguh sulit, Bu..ketika Ical sedih, Ical terus saja ingin menangis..ketika Ical marah, Ical juga ingin menangis..dan ketika Ical mengidap penyakit ini, Ical tak tahu harus menangis atau tidak. .
Namun, Ical teringat atas ucapan Ibu bahwa Alloh tidak mungkin memberikan cobaan yang berat melampaui kemampuan hamba-Nya. Mungkin Ical tak sepantasnya bersedih atas penyakit yang Ical alami sekarang, Bu.”
“Ical boleh menangis sepuasnya jika hal itu memang diperlukan. Tak ada yang melarang Ical untuk menangis ketika bersedih. Tapi ketika Ical melihat kesedihan itu sebagai ujian untuk melatih kesabaran,.Ical akan menikmati sebuah kekuatan yang tanpa Ical sadari akan membuat Ical tetap bertahan. Percayalah.”
“Baik, Bu. Ical akan berusaha untuk melawan kesedihan itu..”
“Nah gitu dong. Dengan tersenyum, kita akan mampu melawan kesedihan itu..”
Tanpa kusadari, aku seperti menasehati diriku sendiri. Memberi sebuah motivasi kepada muridku saat kondisi kerapuhanku. Yap. . semoga energi positif yang kutularkan Ical bisa membuatku bertahan akan ujian ini pula.
“Bu, jangan lupa yaa, besok datang lagi menjenguk Ical. Tapi untuk besok di Rumah Sakit.”
“Untuk memeriksa kesehatan, sayang?”
“Besok pagi Ical akan operasi radang otak. Semoga saja berjalan dengan lancar. Ical sendiri masih takut untuk menghadapinya, Bu.”
“Radang otak?” ucapku dengan terkejut. Kemudian ia tekankan lagi dalam sebuah tulisan.
“Iya, Bu. Radang otak. Doakan Ical, ya.”
Mataku akhirnya basah. Tak sanggup lagi membendung perasaan sedih. Ical, murid kesayanganku yang tuna wicara menderita radang otak. Bagaimana mungkin anak sekecil itu mampu untuk menghadapi ujian seberat itu. Sungguh, aku malu dengan diriku sendiri yang hampir putus asa menghadapi ujianku sendiri.
“Ical pasti bisa menghadapinya. Ibu akan selalu mendoakan Ical agar selalu sehat.”
Aku peluk Ical seerat mungkin. Sekedar untuk memberikan kekuatan kepadanya untuk bertahan. Humm…memberinya sebuah kekuatan? Apakah benar? Bukannya justru Ical yang memberiku sebuah kekuatan itu? Aku semakin yakin bahwa cobaan yang kini kuderita tidak sebanding yang Ical rasakan.
Keesokan harinya. . .
Aku melihat lagi hasil pemeriksaan itu. Aku berpikir dan berusaha mencerna informasi di dalamnya. Aku perhatikan lagi informasi di dalamnya. Dadaku begitu sesak,.namun sekarang aku mempunyai kekuatan untuk menghadapi kepahitan itu.
Bel tamu rumah berbunyi. Ketika kubuka pintu, aku sungguh terkejut melihat kehadiran tamu itu.
“Assalammu’alaikum, Bu Dina?” sapa dokter Irwan yang baru saja memeriksaku kemarin.
“Wa’alaikumsalam, Pak. Mari silakan masuk. Maaf kondisi rumah lagi berantakan,” ucapku terbata-bata menyambut kehadiran dokter itu.
“Ah, mohon maaf jika sebelumnya tidak memberitahu Bu Dina atas kedatangan saya pagi ini.“
“Iya, Pak, tidak apa-apa. Kalau boleh tahu ada apa ya, Pak?”
“Maksud kedatangan saya pagi ini adalah untuk memberikan surat permohonan maaf Rumah Sakit kepada Bu Dina.”
“Surat permohonan maaf? Untuk apa?”
“Surat permohonan maaf Rumah Sakit atas diagnosa Ibu Dina kemarin.”
“Diagnosa HIV AIDS?”
“Iya, Bu. Tepat sekali. Mohon maaf atas diagnosa kami mengatasnamakan Bu Dina sebagai penderita HIV AIDS. Ternyata nama Ibu, Dina Prameswati, sama dengan nama penderita HIV AIDS yang kami tangani. Oleh karena itu, saya mewakili seluruh dewan direksi Rumah Sakit memohon maaf atas kesalahan fatal kami ini.”
Sejenak aku tertegun mendengarnya. Berita yang membuat perasaanku kembali longgar dan membuatku bebas bernafas.
“Bu Dina?” tanya sang Dokter, memecah kebahagiaanku.
“Iya, Pak. Entah saya harus marah atau senang mendengar kabar Bapak. Tapi yang jelas perasaan saya saat ini begitu lega. Saya harap pihak Rumah Sakit lebih bersikap hati-hati dalam mendiagnosa pasien. Bagaimana jika pasien yang mendapat kabar divonis HIV/ AIDS langsung bunuh diri? Untungnya, saya berani bersabar, Pak. Untuk tetap melanjutkan hidup saya..”
“Iya, Bu..Sekali lagi, dengan segala hormat, kami memohon maaf sebesar-besarnya atas kesalahan kami. Dan ini adalah kertas diagnosa Ibu sesungguhnya,” ucap dokter seraya menyerahkan kertas diagnosa berwarna biru.
Perlahan-lahan aku membuka kertas diagnosa itu. Entah kabar apa lagi yang aku terima. Dengan segenap kekuatan dan keberanian aku membaca hasil diagnosa diriku yang sebenarnya.
“Selamat atas kehadiran janin di rahim Ibu. Umurnya sekitar tiga minggu. Semoga hal ini menjadi kabar bahagia untuk Bu Dina dan keluarga.”
“Subhanallah…alhamdulillah..wa lailahaillallahu..wallahuakbar..”
Aku tak sanggup berkata-kata. Aku merasakan kalimat tasbih bergetar dalam hatiku. Ketika aksara berbicara, berusaha untuk memberikan sejuta makna yang ada. . .
Kota lunpia,
15 Dzulhidjah 1430 H dan 6 Muharram 1431 H

diselamatkan dari: http://aniamaharani.students-blog.undip.ac.id/category/short-story/
#menyelamatkan folder cerpen yang hampir hilang.. hehe.. meski cerpen lama, semoga menjadi bahan pelajaran :) Ayo, An.. lanjutkan semangat menulismu lagii ^_^

Read Users' Comments (0)

0 Response to "[CERPEN] Ketika Aksara Berbicara"

Posting Komentar

Thanks for reading
^________^

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver