Catatan Pertama di Kompasiana

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Bismillaahirrahmaanirrahiim


Catatan Pertama di Kompasiana

Suara takbir terus bergema di segala penjuru. Malam ini, bulan sabit terlukis lebih indah dari biasanya. Ia dan penghuni langit terhanyut dalam kebahagiaan menyambut hari raya esok. Akankah hal ini dirasakan sama oleh semua umat muslim dunia? Sebuah kebahagiaan yang tidak berpura-pura. Sebuah keikhlasan tanpa diketahui maksud tersembunyi. Kemaknaan hari raya yang tak sekedar indah di bibir seraya mengucapkan, ‘Happy Ied Adha..Semoga semakin ikhlas berbagi dan berkorban di manapun.”


Alhamdulillah,  saya mendapatkan kabar bahagia bahwa hari raya besok bisa dinikmati bersama oleh seluruh umat muslim dunia. Alhamdulillah juga, di hari ini, saat rombongan haji berkumpul di wukuf Arafah, saya bisa berkesempatan untuk puasa sebelum Ied Adha tiba. Begitu banyak pengharapan ampunan atas dosa-dosa yang dilakukan. Saya berharap, semoga Alloh tidak hanya menghapuskan dosa-dosa saya, melainkan dosa-dosa orang tua saya, sahabat saya, guru-guru  saya, serta orang-orang yang mencintai dan membenci saya. Saya berharap untuk selalu dibukakan pintu hidayah bagi saya dan mereka. Untuk selalu mencintai-Nya dengan sebenar-benarnya iman, bukan dengan keraguan.

Innalillahi wa inna ilaihi ra’jiun..

Selain kabar bahagia, saya turut mendapatkan kabar duka yang sungguh mengejutkan. Saya tak kenal beliau, tapi karena beliau seorang muslim, saya seolah turut merasakan kesedihannya. Beliau seorang pegawai di Dinas Kesehatan Provinsi, tempat saya berkerja. Kebetulan kami tinggal di perumahan yang sama, yaitu di Pasadena, Kelurahan Kalipancur, Semarang. Jarak lokasi RW yang jauh, menyebabkan saya belum mengenal beliau. Saya mendapatkan kabar lelayu bahwa putrinya meninggal dunia dini hari lalu. Sebuah sebab yang tak ingin dipublikasikan ke media namun hal ini saya dapatkan di obrolan ibu-ibu, rekan kerja beliau. Saya tak habis pikir, mengapa hingga saat ini, masih ada pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Benar atau tidaknya berita pembunuhan ini, saya harap beliau bisa kuat dan tabah menghadapinya. Karena benar-benar tak mudah, saat menerima musibah berat seperti ini (apalagi hal ini terjadi menjelang hari raya). Putrinya yang cantik jelita, masih memiliki masa depan yang cerah namun harus menghadapi masa akhir hidup yang memilukan. Semoga saja khusnul khotimah. Karena kabarnya, putrinya dibunuh saat berpuasa. Entahlah apa motif pembunuhan itu. Hal ini menambah pelajaran berharga buat saya, bahwa ajal itu semakin dekat. Dan manusia tidak pernah tahu, dengan cara apa hidupnya akan berakhir?

Di satu sisi, putri beliau dipanggil oleh Sang Khalik, di sisi lain, saudara muslim lain merasa terpanggil untuk menjalankan ibadah haji di Baitullah. Sungguh, makna panggilan yang kontradiksi. Panggilan yang sangat dirindukan dan dirahasiakan. Beberapa panggilan dari Pencipta untuk mendekatkan diri kepada-Nya kadang tak direspon baik oleh manusia. Misalnya, panggilan saat sholat. Panggilan atau seruan adzan masih dinomorduakan dari kegiatan lainnya. Masih ada saja alasan untuk menunda shalat tepat waktu meski waktu luang tersisa banyak. Bagaimana dengan semangat panggilan ke Baitullah nanti? Apakah ada hasrat untuk terpanggil ke sana? Meskipun disadari bahwa saat ini belum mampu untuk menunaikannya, tapi yakinlah, bahwa Alloh akan Memampukan orang-orang yang beroptimis dan berusaha keras untuk pergi ke Baitullah. Kontranya, banyak juga orang yang mampu namun belum memiliki hasrat untuk berhaji? Atau juga haji berkali-kali namun tak memberikan perubahan yang berarti? Yap. Di sinilah, kepahaman kita teruji. Sebuah niat ibadah perlu diperbaiki agar implemantasinya dapat menghasilkan output (keluaran) yang diinginkan (ridho Alloh SWT).

Sepanjang perjalanan pulang tadi sore, saya melihat kumpulan kambing-kambing yang diangkut ke truk-truk. Ya. Sepertinya mereka siap untuk dikurbankan. Tandanya, mereka siap untuk menghadapi kematian esok hari. Itulah tanda ibadah mereka kepada Sang Pencipta. Seolah-olah mereka tidak takut untuk menghadapi kematian. Lihat saja, mereka masih lahap memakan rumput dengan lahapnya. Saya pun memahami, mereka tak memiliki hati dan akal layaknya manusia. Namun, pengorbanan hidup hewan kurban menjadi pelajaran berharga bagi manusia. Masih ingatkah kita dengan sejarah heroik nabi Ibrahim dan Ismail?
Semua pengorbanan yang berasal dari hati akan terbayar oleh hati juga. Semuanya akan menghasilkan akhir yang manis..

Tak ada kamus malas-malasan untuk pekerja keras. Mereka berkerja bukan dengan keterpaksaan, namun dengan jiwa pengorbanan dan keikhlasan yang mendalam. Andaikan saja para umat muslim Indonesia meniru jiwa pengorbanan yang dilakukan oleh nabi Ibrahim dan Ismail. Tentunya tak ada satupun yang mudah putus asa dari rahmat-Nya! Semuanya akan menghasilkan karya terbaik, berkerja sepenuh raga dan jiwa demi kemuliaan agama, bangsa, dan negara. Kalau bukan saya, Anda, dan para pembaca, siapa lagi yang akan berderma?

 An Maharani Bluepen
9 Dzulhijjah 1433 H

Read Users' Comments (2)

2 Response to "Catatan Pertama di Kompasiana"

  1. An, on 26 Oktober 2012 pukul 07.41 said:

    Link An di kompasiana:) http://www.kompasiana.com/ania.maharani

  2. Unknown, on 26 Oktober 2012 pukul 12.15 said:

    like banget paragraf terakhirnya mba.
    sadis banget yaa meninggalnya :( innalillahiii...

Posting Komentar

Thanks for reading
^________^

 
Free Website templateswww.seodesign.usFree Flash TemplatesRiad In FezFree joomla templatesAgence Web MarocMusic Videos OnlineFree Wordpress Themeswww.freethemes4all.comFree Blog TemplatesLast NewsFree CMS TemplatesFree CSS TemplatesSoccer Videos OnlineFree Wordpress ThemesFree CSS Templates Dreamweaver